ASPEK-ASPEK KETUHANAN DAN MANUSIA DALAM TAO
Makalah ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mingguan pada Mata Kuliah
Konfiusme dan Taoisme
Disusun oleh Kelompok V :
Firdaus (1110032100022)
Nur Fariza (1110032100014)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGEI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
1. Aspek Ketuhanan dalam Tao
Di dalam taoisme, ketuhanan terwujud dalam berbagai cara. Dalam
pengertian, semua penciptaan yang ada di alam ini adalah suatu wujud dari
ungkapan tentang Tuhan atau menggambarkan tentang keberadaan Tuhan, seperti
ungkapan dalam agama tao bahwa segala sesuatu datang dari tao dan segala
sesuatu akan kembali kepada tao. Tetapi tao bukanlah mahkluk tertinggi, dia
adalah prinsip alam, menyerap semua aspek penciptaan dengan tenaga atau
kekuatan. Dia juga sering digambarkan sebagai yang tak dapat dirasakan, dilihat
dan diraba.
Dalam agama tao dikenal banyak dewa-dewa dan roh-roh yang mendiami
alam ini, pertama ada unsur ketuhanan yang terwujud dari energi asal. Kemudian
ada dewa yang menciptakan dunia: banyak diantaranya adalah dewa-dewa masa
lampau yang diambil dari taoisme, dewa-dewa yang lain yang berasal dari tradisi
orang kebanyakan yang dipuja oleh orang banyak, orang-orang yang memiliki
kekuasaan didunia, setelah mereka mati dianggap penguasa surga atau memiliki
kekuasaan disurga dan juga dianggap sebagai dewa.
Karena dianggap sebagai dewa maka mereka dipuja dan dimintai
pertolongannya. Pertolongan yang diminta-minta bermacam-macam sesuai dengan
keinginan para pemuja. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Tao adalah prisip
alam IA ada di alam ini. Dalam taoisme, sumber-sumber ketuhanan adalah tao dan
dibandingkan dengan yang lain. Pada dasarnya tao diartikan sebagai “jalan”
sebagaiman dijelaskan dalam buku-buku filsafat cina dan dalam kitab tao te
ching[1].
Dalam taoisme, tao atau jalan menjadi prinsip alam yang menyatu
dengan alam dan berada di atas segala sesuatu yang ada di alam ini. Tao
melengkapi setiap penciptaannya dengan de atau te nya atau kekuatan khususnya,
terutama setelah proses penciptaan itu sendiri terjadi barulah kekuatan itu
diberikan. Sebagamana disebutkan sebelumnya bahwa tao tidak berbentuk, tanpa
menempati ruang dan waktu, dan tidak terbatas. Tao yang awalnya sebagai sesuatu
yang tanpa bentuk, melahirkan qi yang asli, kemudian yin dan yang, kemudian
melahirkan segalanya yang ada di alam ini. Oleh karena itu, tao dianggap
sebagai sumber dari segala sesuatu. Segala sesuatu yang ada di alam ini tidak
terlepas dari tao, mereka hidup karena tao dan kembali kepada tao. Tao sumber
segalanya dan tempat untuk mereka kembali.
Tao dikenal dalam dunia manusia melalui dewa-dewa dan
orang-orang yang dianggap setengah dewa yang menjelma dalam diri manusia
sepanjang masa. Diantara orang-orang atau tokoh-tokoh tersebut yang paling
terkenal adalah lao zi, taishang laojun, dewa lao yang dianggap maha tinggi dan
di dewakan oleh kebanyakan orang di cina dan diluar cina. Oleh kerena itu dia
dipuja oleh banyak orang yang membutuhkan pertolongannya. Pada masa awalnya lao
zi diyakini sebagian orang hidup sezaman dengan tao, namun dalam
perjalanan waktu keyakinan tersebut bergeser. Sebagaimana keyakinan banyak
orang, bahwa tao itu sendiri muncul sebelum terbentuknya alam ini, karena ialah
yang menciptakan dan menggerakkan alam.
Kitab tao te ching yang diyakini berasal dari lao zi menggambarkan
serangkaian inkarnasi atau kelahiran kembali dan perubahan bentuk manusia
setelah mereka mengalami proses kelahiran kembali[2]. Konsep ini sama dengan konsep
yang berkembang dalam agama budha yang menganggap tidak ada kematian dan
kematian tersebut adalah suatu proses perpindahan manusia dari alam yang satu
ke alam yang lain. Berdasarkan cerita rakyat lao zi berada dalam kandungan
ibunya selama 81 tahun dan lahir bukan dari perut tapi dari ketiak ibunya,
sebuah kisah yang cukup aneh. Oleh karena itu ia di anggap mahkluk aneh dan
lain dari manusia kebanyakan yang ada didunia ini.
Para pengikut
lao zi, termasuk zhang daoling pada tahun 142 M, menganggap bahwa dewa lao
merupakan sumber dari wahyu yang sampai kepada mereka jadikan acuan dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
Didalam kitab-kitab klasik agama tao, terdapat gambaran dan
penjelasan mengenai kelahiran dewa lao yang banyak dipuja orang, termasuk
peranannya sebagai penasihat raja masa lampau yang penuh bijaksana dalam
memimpin masyarakatnya. Didalam beberapa kitab klasik, dia dianggap sebagai
seorang ratu adil yang akan menyelamatkan orang banyak dan akan membawa
kedamaian didunia dimasa sekarang dan yang akan datang. Berdasarkan kitab hua
bu jing (kitab yang menjelaskan perpindahan orang-orang barbarian yang ditulis
sekitar tahun 300 M), setelah lao zi meninggalkan china, dia melanjutkan
perjalannya ke India, disana ia menjelma menjadi Buddha, dengan membawa Tao
(jalan) keluar dari cina dan diajarkan pada orang-orang disana. Mengaju pada
kitab tersebut, maka tidak menolak kemungkinan bahwa pengaruh ajaran lao zi
juga tersebar keseluruh India
sebelum lahirnya Sidharta Gaotama yang menyebarkan agama budhha.
Pada abad ketujuh lao zi dijadikan “leluhur yang maha tinggi dan
leluhur dari para raja-raja”, secara resmi kaisar memerintahkan pemujaan
atasnya. Memalui contoh-contoh, gambaran-gambaran, wahyu yang dibawa oleh Lao
Zi dan manifestasi ketuhanan atasnya merupakan sumber utama untuk memahami Tao
secara mendalam.
Selain tokoh-tokoh yang dijelaskan diatas, ada sejumlah tokoh yang
lain yang mencerminkan tentang Lao: beberapa diantaranya dikelompokkan dalam
tritunggal. Mereka diyakini banyak orang berasal dari langit, mereka murni dan
tidak tersentuh atas penciptaan dunia. Tai-i, yang lebih tinggi, secara
kosmologi diyakini sebagai penggerak utama Tao dan sebagai penjelmaan dewa.
Sebagai dewa, Tai-i adalah bagian dari tritunggal, tiga adalah satu, yang
memainkan peranan penting dalam skema mikro kosmos dan makro kosmos Taoisme,
untuk semua dewa-dewa alam dapat dijumpai dalam diri manusia. Tritunggal tidak
hanya muncul didalam alam tapi juga dalam tiga “lapangan cinnabar” atau pusat
kehidupan manusia. Disamping itu, tritunggal tersebut mengacu pada tiga proses
kehidupan dan tubuh manusia, yaitu nafas, pokok (atau air mani) dan roh. Dalam
praktek-praktek taoisme, ini merupakan proses penyemaian untuk menciptkan
“kehidupan janin” dalam badan manusia. Untuk memberikan penghormatan atau
hadiah kepada dewa-dewa mereka meminta bantuan kepada pendeta Tao melalui
upacara keagamaan. Tidak hanya sekedar itu, energi kreatif dari Tao bermanfaat
atau berguna untuk mempersatukan kembali masyarakat yang telah terpecah-pecah
akibat berebut kepentingan.
Dalam agama Tao, dewa-dewa diartikan sebagai administrator dan
birokrat yang dapat berbuat sesuatu jika mereka mau. Para
pengikut Tao mamuja dewa-dewa yang meliputi dewa-dewa bintang dan dewa-dewa
pencipta alam, seperti sungai-sungai yang penting dan gunung-guung yang suci.
Dewa-dewa yang cukup terkenal sebelum perkembangan agama Tao juga dipuja oleh
para pengikut tao yang memuja banyak dewa, sebagai contoh adalah raja kuining
(Huang Di) dan ibu ratu dari barat (Xiwang mu). Raja kuning adalah seorang
penguasa dalam masa lampau dan dipuja dalam pengikut confucius sebagaimana
tradisi para pengikut Tao. Dia dijadikan penguasa ideal, leluhur untuk semua
orang cina, dia seorang ahli dalam seni penguasaan diri dan usia lanjut. Salah
satu dari penjelamaan dewa lao adalah penjelmaannya sebagai penasihat raja
kuning, dan mereka menciptakan hubungan baik antara penguasa dan penasehat atau
antara raja kuning dan dewa lao.
Ibu ratu dari barat sebagaimana mengacu pada kitab zhoangzi adalah
sebagai seorang yang telah “memperoleh tao”, danjadi dia dapathidup abadi atau
selamanya. Dia merupakan dewa yang sangat terkenal dimasa dinasti Han, dia
dipuja oleh raja dan masyarakat umumnya. Pada abad ke-3 SM, pemujaan
terhadapnya berlangsung cukup lama dan berkembang dengan jumlah yang sangat
besar yang mengharapkan kedatangannya membawa perdamaian baru dan kemakmuran.
Dia menganjurkan kepada penguasa pada masa lampau tentang kepemimpinan dan
keyakinan kepada diri sendiri dan khususnya mengacu kepada ajara-ajaran tao.
Sepanjang abad agama tao juga memuja dewa-dewa yang terkenal dengan
julah yang cukup banyak. Dewa-dewa ini berasal dari manusia dan mereka
digolongkan sebagai dewa setelah mereka mati. Sedangkan tingkatan yang lebih
tertinggi adalah roh-rohnya para kaisar. Kadang-kadang juga roh-roh para kaisar
ini dianggap paling muda dari kaisar penguasa langit dan bumi. Para pengikut tao dan para dewa tao mempunyai hubungan
erat. Mereka adalah dewa yang berada di luar dewa-dewa terdisi orang
kebanyakan atau bagian dari dewa-dewa yang menguasai bumi atau dikenal juga
sebagai raja bumi.
Dewa-dewa dar teradisi orang kebanyakan meliputi tokoh-tokoh
terkenal, beberapa diantara mereka dipuja oleh sebagian besar orang dewasa ini.
Sebagai contoh Muzu yang digolongkan sebagai dewi setelah dua abad mendapat
pemujaan dari orang banyak, dan dikelompokan kedalam tingkatan para dewa.
Akhirnya, pada abad ke-7, dia menjadi kaisar langit sebagai istri dari kaisar
tertinggi. Dewa terkenal lainnya, adalah guandi, yang berdasarkan sejarah
merupakan pahlawan rakyat. Dia dikenal dengan keganasannya, seorang pemberani,
dan tidak mengabaikan kesetiaannya kepada raja. Dia ditangkap dan dihukum mati
pada tahun 219 M___ sejarahnya diceritakan
dalam roman tiga kerajaan, sebuah novel yang sangat terkenal pada masa dinasti
ming. Keterangan Manzu terus berlangsung sampai dia memperoleh pengakuan raja,
dan dia diberi gelar oleh kaisar sebagai dewa. Oleh karena itu, dia termasuk
salah satu dewa yang juga banyak dipuja orang dari berbagai kalangan dan
golongan.
Konsep ketuhanan dalam agama Tao di Kitab Too
Tik Keng:
Bab XIV
“Dilihatnya tidak akan kelihatan, Itulah
dinamakan Maha Besar; Didengarnya tidak akan kedengaran, Itulah dinamakan Maha
Ajaib; Disentuhnya tidak akan kesentuhan, Itulah dinamakan Maha Kecil.
Ketiganya ini, tidaklah tepat kalau menerapkan langkah kebijakan, maka itu satu
sama lain membaurkan diri pada satu kesatuan. Di atasNya tidak tampak
kecerahan, di bawahNya tidak tampak kesuraman, perananNya terus berlangsung
walaupun tanpa nama yang tepat, dan terus mengikuti kodratNya pulang kembali
pada kehampaan. Bahwa mengenai apa yang dinamakan dengan ‘Bentuk Yang Tiada
Berbentuk’, ataupun ‘Rupa Yang Tiada Berbenda’ itu, tiada lain justru dinamakan
Maha Samar. Disambutnya Maha Samar itu tidak akan kelihatan WajahNya,
diikutinya Maha Sama tidak akan kelihatan punggungNya”.
“Pegang teguh pada Hukum Too untuk menguasai
kondisi zaman sekarang, akan dapat mengetahui kondisi awal zaman dahulu, dan
hal semacam itu tepat benar kalau dinamakan Kedisiplinan Too”.22
Bab XVII
“Mengenal adanya Dewa Yang Maha Tinggi itu,
orang yang pertama benar-benar tidak tahu pada kematiannya, orang yang kedua
pada bersikap mendekati dan memujinya, orang ketiga pada bersikap menyeganiNya,
dan orang yang terakhir pada bersikap menghinanya. Timbulnya
perbedaan-perbedaan itu tiada lain karena adanya Kurang Keyakinan, Ada
Keyakinan dan Tiada Keyakinan yang memainkan peranan pokok”.
“Alangkah samar dan jauhnya sabda mulia yang
diberikan Dewa Yang Maha Tinggi itu. Setelah Aku mencapai keberhasilan dalam
jasa dan karya, maka masyarakat ramai pada berkata serentak, bahwa Aku Sendiri
adalah penjelmaan Dewa Yang Maha Tinggi itu”. H. 26
Bab XXV
“Ada ‘Peranan Gaib’ yang berhasil menciptakan
benda dari Alam Maha Kosong, kejadian itu lebih awal dari kelahiran langit dan
bumi, sangatlah sunyi dan samar, berdiri sendiri tanpa berubah, mengedarkan
benda tanpa mengenal lelah, sehingga dapat dipandang sebagai Ibu Alam Semesta.
Aku tidak tahu siapakah nama ‘Peranan Gaib’ yang beraksi itu, maka disunting
huruf ‘Too’ sebagai nama untuk Dia, dan secara mendesak disunting lagi nama
‘Besar’ untuk Dia”.
“Besar dinamakan Lenyap, Lenyao dinamakan
Larut, Larut dinamakan Putar Balik. Maka itu Too sebagai Yang Besar, Langit
sebagai Yang Besar, Bumi sebagai Yang Besar, Manusia sebagai Yang Besar. Di
dalam alam semesta terdapat Empat Besar, sedangkan manusia menduduki peringkat
utama. Manusia berdasarkan bumi sebagai Hukum, Bumi berdasarkan Langit sebagai
Hukum, Langit berdasarkan Too sebagai Hukum, Too berdasarkan Wajar sebagai
Hukum”. H. 38
Penciptaan
Bab XXXIX
“Dari pembukaan zaman sampai ke zaman purba,
sesuatu yang mendapatkan karunia ‘Yang Maha Esa’ itu adalah ___ Langit
mendapatkan karunia menampilkan kejernihan, Bumi mendapatkan karunia
menampilkan kestabilan, Dewa mendapatkan karunia menampilkan kemukjizatan,
Lekuk bumi mendapatkan karunia menampilkan kepadatan, Makhluk mendapatkan
karunia menampilkan kelahiran, Maha raja mendapatkan karunia menampilkan
dirinya sebagai pemimpin Negara.__- semua itu tiada lain adalah karunia ‘Yang
Maha Esa’:.
“Langit tiada menampilkan kejernihan, khawatir
akan mengalami keretakan; Bumi tiada menampilkan kestabilan, khawatir akan
mengalami kehancuran;Dewa tiada menampilkan kemukjizatan akan mengalami
kemusnahan; Lekuk bumi tiada menampilkan kepadatan akan mengalami kekeringan;
Makhluk tiada menampilkan kelahiran akan mengalami kelenyapan; Maha raja tiada
menampilkan keagungan akan mengalami ketimpangan”.
“Maka itu Kemuliaan bersendikan Kehinaan
sebagai pokok pangkal, dan Keluhuran bersendikan Kerendahan sebagai pokok
dasar. Maka itu pun Maha raja menyebutkan dirinya sebagai Kouw, Kuat, dan Put
Kouw. Bukankah penyebutan itu menggunakan dasar Kehinaan sebagai pokok pangkal?
Bukankah memang demikian? Maka itu pun penyampaian Amanat-Rakyat yang
berkelebihan tak ubahnya seperti tiada Amanat yang disampikan”.
“Janganlah bernafsu memburu kedudukan mulia
yang semulia batu giok, dan janganlah mengejar tindakann keras yang sekeras
batu pualam”.
h. 56
Konsep Manusia
Bab XLII
“Too melahirkan Satu, yaitu Awal Maha Ada; Satu
melahirkan Dua, yaitu Langit dan bumi; Dua melahirkan Tiga, yaitu Zat, Hawa dan
Roh; Dan Tiga melahirkan Makhuk Semesta. Bahwa segala makhluk tidak lepas
daripada memanggul Sifat Im disamping merangkul Sifat Yang, selain itu ada lagi
menampung dobrakan Unsur Hawa yang dipandang sebagai Kenetralan Sifat Im Yang”,
“Bahwa apa yang tiada berkenan di hati orang
banyak itu, justru semata ditujukan pada Kouw, Kuat, dan Put Kouw, tapi semua
itu malah dijadikan sebutan nama oleh bangsawan. Maka itu sifat benda dalam
dunia memang penuh keanehan, ada yang rusak malah jadi berguna, atau yang masih
berguna malah jadi rusak. Maka itu pun apa yang diajarkan orang kepadaKu, Aku
akan mengajarkan juga kepadanya”.
“Sesungguhnya kepadaKu ‘Orang Yang Lalim Tidak
Mendapatkan Kematian Yang Wajar’, dan Aku akan menganggap hal itu sebagai Bapak
Pendidikan”.
H. 60
Bab L
“Kelahiran itu tanpa kecuali akan mendatangkan
kematian. Bahwa pengikut kelahiran itu menduduki tiga per sepuluh dalam
perbandingan, dan pengikut kematian itu pun menduduki tiga per sepuluh dalam
perbandingan. Dari kelahiran manusia sampai dengan adanya musibah dalam
gelanggang kematian itu, juga menduduki tiga per sepuluh dalam perbandingan.
Bahwa mengapa sampai timbul kejadian seperti itu? Justru karena adanya
kepadatan yang timbul oleh kelahiran demi kelahiran”.
“Rupa-rupanya tersiar juga berita yang
menyarakan bahwa orang yang pandai melindungi jiwa-raganya itu tidak akan
berpapasan dengan badak maupun harimau dalam perjalanan darat, dan tidak akan
bergulat dengan senjata musuh dalam tugas ketentaraan. Sesungguhnya badak tidak
akan pernah menyeruduk culanya, harimau tidak akan pernah mencakarnya kukunya,
dan tentara tidak pernah melepaskan senjatanya. Bahwa mengapa sampai timbul
kejadian seperti ni? Justru karena tiadanya gelanggang kematian untuk orang
itu”.
Hal 66
Lo Cu, Terjemahan bebas oleh umat tri dharma si
tubondo, kitab falsafah tiongkok purba Too Tik Keng 1985
1.
2.
Konsep Mengenai Manusia dan Masyarakat
Kekuatan yang diperoleh oleh sang Taois adalah te, daya sang Tao
diranah Ada,
yang diterjemahkan sebagai “kebajikan”. Akan tetapi,Lao-tzu memandangnya sebagai
hal yang berbeda dari kebajikan konfusian[3]: “Kebajikan yang lebih unggul”
dalam Sang Taoisme adalah kekuatan terpendam yang tidak pernah menuntut
pencapaiannya: ia adalah “kekuatan misterius” (hsuan te) Sang Tao yang hadir di
hati orang bijak”orang yang mempunyai kebajikan yang unggul tidak pernah
bertindak (wu-wei), tetapi tidak ada yang dia tinggalkan terbengkalai.”
2.1.
Idaman Sosial akan Primitivisme
Setiap campur tangan manusia yang jenuh keinginan dipercaya akan
dapat meruntuhkan harmoni proses perubahan berbentuk yang alamiah. Irama
spontan komunutas petani primitive dan simbiosisnya yang tidak sadar diri
dengan siklus alam adalah masyarakat idaman Sang Taois.
Chuang-tzu suka mempertentangkan buatan-langit dan buatan-manusia:
yakni, alam, dan masyarakat. Dia ingin manusia meniggalkan semua “alat yang
cerdik” yang dibuat yang memfasilitasi pekerjaannya tetapi mendatangkan “hati
yang licik” dan jiwa-jiwa yang terhasut tidak didiami sang Tao[4]. Demikian
pula manusia harus meninggalkan semua konsep mengenai ukuran, hukum, dan
kebajikan.
2.2. Tujuan-tujuan religius individu
Orang suci Konfusian (sheng) dipandang sebagai penguasa zaman kuno
atau orang bijak yang gaung yang mengajarkan kepada orang cara untuk kembali ke
ritus-ritus zaman kuno. Akan tetapi, orang suci Taois bersifat batiniah
(nei-sheng), meskipun itu dapat menjadi wujud di dalam kerajaan lahirlah
(wai-wang) yang mengembalikan Dunia sang Tao melalui pengendalian nafsu: yang
disebut secara bervariasi “tidak campur tangan” (wu-wei), “olah batin”
(nei-yeh), atau “seni hati dan pikiran” (hsin-shu).
Orang bijak sang Taois yang sudah tua menjadi seorang yang suci
karena dia telah mampu mengolah dirinya sendiri selama keberadaan yang panjang;
masa hidupnya yang panjang itu sendiri adalah bukti kesucian dan persatuan
dengan sang Tao.
Wawasan mistik Chuang-tzu membuat dia mencemooh orang-orang yang
berjuang mendapat umur panjang dan keabadian melalui praktek-praktek
fisiologis. Namun demikian, keabadian fisik adalah tujuan seorang Taois mungkin
lama sebelum dan berdampingan dengan penegembangan mistisisme Sang Taois. Ahlin
kekelan mempunyai suatu pilihandi antara banyak metode yang semunya dimaksudkan
untuk memulihkan energi-energi murni yang dimiliki pada saat lahir yang daya
hidupnya yang sempurna dikagumi oleh Lao-tzu.
Manusia sempurna telah menyamakan irama hidupnya sedemikian sempurna
dengan irama daya-daya alam sehinmgga dia menjadi tak-tgrbedakan darinya dan
memiliki kekekalan dan keterbatasan yang melampaui siklus kehidupan dan
kematian orang biasa. Dia adalah “roh murni”. Dia tidak merasakn panasnya padang rumput yang
terbakar juga dinginnya air yang sedang :banjir”; tidak ada yang dapat
mengagetkan atau membuat dia takut. Bukan berarti kebal secara sihir, tetapi
dia begitu berhati-hati dalam menghindar dan mendekat, sehingga tidak ada yang
dapat melukainya.”
“orang seperti ini mengendarai awan-awan sebagai keretanya dan
matahari dan bulan sebagai kudanya”. Tema pengembaraan rohaniah (yuan yu), yang
dapat ditelusuri kembali perjalanan jiwa semanistik, muncul apabila Chuang-tzu
berbicara tentang manusia.sempurna.
Pengembaraan ini adalah perjalanan di dalam diri mereka sendiri:
mereka berkelana melalui yang tak-berhingga. Melampaui pembedaan-pembedaan
sehari-hari atas benda-benda dan bersatu dengna sang Tao.
Pada masa Mencius, ada tiga pandangan tentang manusia, pertama,
manusia pada dasarnya tidak baik maupun tidak buruk, kedua, manusia
itu baik dan buruk (yang nampak berarti bahwa manusia mempunyai elemen-elemen
baik maupun buruk), dan ketiga, sebagian manusia pada dasarnya baik,
dan sebagian lagi buruk. Pandangan Mencius yang memandang bahwa pada dasarnya
manusia adalah baik kelihatannya lebih dekat pada pandangan kedua, dalam arti
bahwa pada dasarnya manusia itu baik, tetapi jika elemen-elemen baik maupun
yang buruk tidak dikontrol dengan semestinya, ini dapat berkembang menjadi
jahat. Untuk membuktikan bahwa pada dasarnya manusia itu adalah baik, Mencius
memberikan contoh bahwa siapa saja ketika secara tiba-tiba melihat ada seorang
anak yang nyaris jatuh ke dalam sumur, mereka tanpa pengecualian akan segera
merasa terpanggil untuk menyelamatkannya.
Berdasarkan kasus di atas, Mencius mengembangkan pendapatnya bahwa,
siapa saja yang miskin akan perasaan simpati atau miskin akan kemampuan untuk
ikut prihatin adalah bukan manusia, siapa saja yang miskin akan rasa bersalah,
rasa malu maka dia adalah bukan manusia, siapa saja yang miskin kerendahan hati
adalah bukan manusia, dan siapa saja yang miskin pada perasaan benar dan salah
ia juga bukan manusia. Bagi Mencius, perasaan simpati, perasaan-perasaan ikut
prihatin adalah awal dari kebaikan hati, rasa malu adalah awal dari kebijakan,
kerendahan hati dan kemampuan mendahulukan yang lain adalah awal dari
kesopanan, dan kepekaan terhadap yang benar dan salah adalah awal dari
kebijaksanaan (wisdom). “Keempat awal” (“four beginnings”)
ini ada pada semua manusia yang jika berkembang penuh maka akan menjadi empat
“keutamaan yang konstan”. Keutamaan-keutamaan ini, jika tidak dihalangi oleh
kondisi eksternal, menurut Mencius, akan berkembang dengan sendirinya dari
dalam, seperti sebuah pohon yang tumbuh dari bijinya.
Ini tidak berarti Mencius kemudian mengabaikan pengaruh dari
lingkungan sekitar. Seperti yang dikatakan oleh Mencius dalam menerangkan
mengapa air dapat naik ke atas, yang mana itu bukanlah sifat alamaiah dari air.
Menurut Mencius, itu karena adanya kekuatan dari luar yang mampu membuat air
naik ke atas.
Bagi Mencius, “empat awal” adalah merupakan sifat bawaan yang ada
dalam diri manusia sejak awal hidupnya, dan bukan sesuatu yang merupakan
‘ditempelkan’ dari luar. Selain itu, “empat awal” juga merupakan pemberian
‘Langit’. Dengan perawatan yang baik keempat ‘awal’ ini akan tumbuh menjadi
disposisi moral yang penuh daya hidup dan kuat yang disebut ‘changde’.
Satu konsep Mencius yang harus dipahami adalah Hao Jan Chih
Ch’i. Hao Jan Chih Ch’i merupakan ‘daya’ yang besar, yang
kebesarannya melampaui daya manusiawi belaka. Hao jan diterjemahkan
oleh Fung-Yu lan sebagai yang besar, kuat. Maka Hao Jan Chih Ch’i diterjemahkan
Fung Yu-lan sebagai “the Great Morale”. Menurut Fung Yu-lan, konsep Hao
Jan Chih Ch’i lebih dari sekedar moral antar manusia, tetapi ini menaruh
perhatian pada baik manusia maupun dunia, maka bagi Fung Yu-lan, Hao Jan
Chih Ch’i adalah bernilai sebagai sebuah “super-moral”.
Metode dalam mengembangkan dan mengolah Hao Jan Chih Ch’i
ini mempunyai dua aspek, pertama yang disebut sebagai “memahami Tao”, yaitu
jalan atau prinsip yang mengarah pada pendayagunaan pikiran, dan yang kedua
adalah yang disebut Mencius sebagai “akumulasi dari kebijakan”, yaitu secara
konstan melakukan apa yang seharusnya dilakukan dalam dunia ini sebagai “warga
dunia”. Kombinasi dari dua aspek ini disebut Mencius sebagai “kombinasi dari
kebijakan dan Tao”.
Maka setelah manusia mampu
mencapai pemahaman Tao dan menapak jalan panjang dalam mengakumulasi kebijakan,
apa yang disebut sebagai “Great Morale” itu secara alamiah akan
menampakkan dirinya sendiri.
Bagi Mencius, mengolah Hao Jan Chih Ch’i (“the Great
Morale”) adalah seperti menumbuhkan padi. Seseorang harus melakukan sesuatu,
dan itu adalah melaksanakan keutamaan. Meski Mencius lebih sering membicarakan
kebijakan dari pada kebaikan hati manusia, pada dasarnya bukanlah dimaksudkan
untuk menafikan satu sama lain. Bagi Mencius, kebijakan adalah terkait dengan
ekspresi luar, sedangkan kebaikan hati manusia adalah isi dalamnya. Maka jika
seseorang melaksanakan secara konstan kebijakan, “the Great Morale” secara
alamiah akan memasukiKonfusius mengajarkan bahwa ren (‘kasih’ atau
sumber gerak kehidupan), yi (keharusan moral) dan li (relasi
tepat) dan Mencius memberikan alasan mengapa manusia harus ren dan apa
yang menjadi dasar manusia bertindak ren, yi dan li pada
sesama.
Jawaban utama yang diberikan oleh Mencius adalah karena pada
dasarnya manusia itu baik. Dimulai dengan mengolah Hao Jan Chih Ch’i
(“the Great Morale”) yang ini akan memberikan daya yang sangat besar kepada
“empat awal” yang merupakan bawaan dalam diri setiap manusia dan sekaligus
merupakan pemberian dari ‘Langit”. ‘Empat awal’ ini kemudian akan mendorong
mewujudnya keutamaan-keutamaan yang diajarkan oleh Konfusius, yaitu ren,
yi, li dan zhi. Ketika manusia sudah mempraktekkan
keutamaan-keutamaan itu, dia akan menjadi pribadi yang utuh, dan sesuai dengan
yang diajarkan oleh Mencius, dan jika setiap orang telah melakukan atau
mempraktekkan keutamaan-keutamaan itu, masyarakat, negara akan menjadi damai
dan sejahtera.
Di dalam literatur-literatur klasik Cina, kata Taoisme pertama kali
ditemukan di dalam tulisan-tulisan Shi Chi (catatan -catatan sejarah)
yang ditulis oleh Ssu-ma Ch’ien (145-867 BC), yakni empat ratus tahun setelah
kematian Lao Tzu.
Jika kita membaca tentang Tao kita bisa merumuskan bahwa di dalam
Tao terdapat ajaran “Etika Hidup” dan juga ada ajaran “Ke-Tuhan-an” yang samar.
Boleh dibilang Tao merupakan hasil perenungan dan pemikiran dari pendiri agama
tersebut yaitu Lao Tzu. Tao ibarat perjalanan Lao Tzu dalam mencari Tuhan.
Disinilah perbedaan mendasar antara agama Tao dan agama lainnya
khususnya agama Semit. Agama Semit merupakan agama yang mana Wahyu Ilahi
diturunkan atas para nabi. Sedangkan Tao lebih dari pencarian agama sejati oleh
seseorang yang bernama Lao Tzu, dimana petunjuk ketuhanan tidak diturunkan dari
Tuhan tetapi didapat atas hasil pencerahan, seperti yang Budha lakukan. Yang
mana bisa kita simpulkan bahwa jika kita bersungguh-sungguh mencari Tuhan
dengan perenungan akal maka pada akhir pemikiran apa yang kita dapatkan akan
sama dengan apa yang Tuhan ajarkan.
Lao Tzu dalam perenungan dan pemikirannya menyatakan bahwa segala
sesuatu di dunia ini mengandung dua unsur yang saling berlawanan, dan setiap
unsur yang berlawanan tersebut saling tergantung satu sama lain. “Sebab Akibat”
Dalam Metafisika Taoisme, Lao Tzu yang merupakan pendiri Tao menganggap
bahwa Tao adalah “sumber umum bagi seluruh alam semesta”. Tao sebagai “asal
usul yang unik dari dunia”. Lao Tzu secara eksplisit mengatakan “ Tao
menghasilkan yang satu, yang satu menghasilkan yang dua, yang dua menghasilkan
yang tiga dan yang tiga menghasilkan sepuluh ribu hal lainnya.
Yang Satu (The one), menghasilkan yang dua dimana yang dua ini
meliputi sisi feminin dan maskulin (Yin & Yang/ Positif & Negatif).
Yang tiga merupakan kesatuan antar Yin dan Yang. Dan dari yang tiga (Yin &
Yang) menghasilkan sepuluh ribu hal lainnya yang mana dari yang tiga inilah
merupakan asal mula alam semesta menurut versi Taoisme.
Dari paparan diatas kita peroleh[5] :
Yang Satu (The One) = Tao
Yang Dua (Yin & Yang) = Firman
Yang Tiga (Kesatuan Yin & Yang) = awal alam semesta
Segala sesuatu berasal dari Tao
Tao tak bisa dipahami (tak ada yang setara) tetapi Tao ada
Jika kita perhatikan 5 paparan diatas, maka bisa kita baca bahwa itu
merupakan Konsep Ketuhanan hakiki yang dimiliki oleh setiap agama besar.
ajaran Tao memandang Tuhan (Tao) sebagai sesuatu yang spontanitas,
apa adanya tanpa keinginan sesuatu melainkan apa yang terjadi dengan
sendirinya. Sedangkan dalam agama Semit dan Vedic Tuhan (Tao) sebagai yang Maha
Menguasai dan Maha Berkehendak. Dari sini tampak jelas sekali bahwa Tao
merupakan hasil pemikiran dan bukannya wahyu Tuhan.
Di dalam Konfusianisme oleh Kong Hu Chu (551 SM – 479 SM) , Tao
adalah prinsip umum yang mengatur moralitas , sementara Te adalah
keutamaan individual. Akan tetapi, bagi Lao Tzu, Tao adalah realitas yang
paling utama sekaligus prinsip umum dari alam semesta. Sementara, Te
adalah partikularisasi dari Tao yang terwujud dalam diri seseorang, ketika ia
hidup sesuai dengan Tao. Te adalah kekuatan baik dari luar atau dalam Tao yang
menyelimuti segenap aspek di alam raya ini. Jadi Te pada hakikatnya identik
dengan Religiusitas (yang bersifat ilahi) dalam sesuatu baik manusia atau
makhluk lainnya. (viiaputih.)
Secara garis besar, pengembangan ajaran Tao dapat dikelompokkan
menjadi:
1.
1.
Hubungan Manusia dengan Alam Semesta.
Manusia tercipta karena sebuah proses alam, karenanya kelangsungan
hidup manusia tidak bisa terlepas dari alam. Kaum Tao berpendapat bahwa agar
manusia bisa tetap bisa bertahan hidup maka harus bisa menyesuaikan diri dan
menjaga keharmonisan dengan Alam. Karena itulah konsep dasar ajaran Tao adalah
adanya ‘Keharmonisan’ antara manusia dengan Alam Semesta. Ditambah dengan
adanya rasa ingin tahu, maka mulailah manusia berusaha mengenal “Karakter” Alam
Semesta. Hingga kemudian terciptalah berbagai Ilmu Perbintangan (Astronomi
& Astrologi), Kalender untuk mengenal musim, Hongsui dan lain sebagainya.
Berbagai pengetahuan tersebut kemudian dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai
kesulitan hidup. Dengan mengenal “Karakter” Alam Semesta maka manusia bisa
hidup secara ‘Harmonis’ didalamnya.
1.
2.
Hubungan Manusia dengan Tuhan / Dewa-Dewi / Para
Suci.
Karena keterbatasan panca indera, kadang manusia merasa ‘Tidak
Berdaya’ menghadapi berbagai peristiwa alam seperti banjir, gempa bumi dan
lain-lain. Manusia sadar akan keterbatasan dirinya. Maka mulailah manusia
‘Mencari Perlindungan’ kepada sosok ‘Penguasa Alam’. Mulailah dilakukan
berbagai pemujaan dan persembahyangan untuk memohon perlindungan. Semakin lama
semakin tertata seiring dengan perkembangan budaya.
Dalam perkembangan selanjutnya muncullah sosok-sosok pemikir yang
tidak puas hanya dengan sebatas pemujaan dan ritual belaka. Mereka berusaha
mencari cara untuk mengungkap misteri keberadaan ‘Sang Pencipta’. Mulailah
manusia tidak hanya mengenal pemujaan yang bersifat formalitas belaka,
melainkan mulai berusaha mengadakan hubungan yang bersifat lebih pribadi dengan
‘Penguasa Alam’. Hingga kemudian manusia mulai mengenal ‘doa’. Ada juga yang
berusaha mengadakan ‘kontak’ dengan ‘Sang Pencipta’ melalui ‘Keheningan’ yang
kini kita kenal dengan meditasi. Memunculkan konsep keagamaan berupa ajaran
kebenaran / kebijaksanaan dan metode spiritual yang berhubungan dengan
‘Pencerahan’! Demikianlah perubahan dan perkembangan terjadi selama ribuan
tahun hingga kini kita mewarisi berbagai bentuk ritual, ajaran kebenaran, doa,
meditasi dan metode spiritual lainnya.
1.
3.
Hubungan Manusia dengan Sesamanya.
Manusia adalah mahluk sosial yang punya kecenderungan untuk hidup
berkelompok. Dan seiring dengan semakin berkembangnya peradaban maka secara
otomatis mulailah tersusun berbagai aturan dan norma yang berkembang menjadi
tradisi, adat istiadat, tata krama dan lain sebagainya. Tujuannya untuk menata
kehidupan sosial manusia agar teratur, menghindari perselisihan, mengendalikan
kejahatan dan lain-lain, sehingga hidup menjadi lebih teratur dan nyaman.
Berawal dari sinilah kemudian manusia mulai mengenal organisasi dengan aturan
yang baku atau
hukum. Dan pada tahap berikutnya ini merupakan cikal bakal terbentuknya sebuah
pemerintahan.
1.
4.
Hubungan Manusia dengan Kehidupan Pribadinya.
Mungkin ini salah satu inti utama dari ajaran Tao yang sangat erat
kaitannya dengan naluri alamiah manusia yang berusaha untuk bertahan hidup dan
meningkatkan kualitas hidup. Dengan adanya kecerdasan dan akal budi yang
dimiliki manusia. Maka secara otomatis muncul sosok-sosok cerdik pandai yang
berpikir tentang hal-hal yang berada diluar jangkauan panca indera dan berada
diluar kendali.
Mulailah muncul pemikiran tentang berbagai fenomena kehidupan
seperti: “Kenapa manusia bisa sakit dan mati? Mulailah muncul sosok-sosok
genius yang berusaha untuk mencegah kematian fisik. Walaupun tidak berhasil,
tetapi akhirnya terciptalah berbagai ilmu pengobatan, ramuan suplemen dan juga
senam serta ilmu pernapasan yang bisa menjaga kesehatan fisik dan memperpanjang
usia.
Disisi lain para Pakar Tao Kuno juga berusaha mencari tahu “Apa yang
terjadi setelah kematian fisik manusia?” Mulailah berkembang Olah Spiritual Tao
yang mengembangkan segenap potensi diri untuk mengungkap misteri kematian.
Dengan harapan, jika kita bisa mengungkap misterinya, maka kita bisa
mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapinya. Ini juga merupakan
reaksi alamiah manusia yang mempunyai rasa ingin tahu serta berusaha mencari
selamat.(psychologmania. Ajaran tao-taoisme)
DAFTAR PUSTAKA
Tzu,lau. tao te ching 81 filsafat hidup tao. Yogyakarta : New Diglossia. 2010, Cet. I.
Tanggok, M.Ikhsan. Mengenal Lebih Dekat Agama Tao. Jakarta : UIN Jakarta
Press.2006. Cet.I
Lo Cu, Terjemahan bebas oleh umat tri dharma si
tubondo, kitab falsafah tiongkok purba Too Tik Keng 1985
[1] Prof. Dr. M. Ikhsan
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao, UIN Jakarta Press: 2006, hal.
97
[2] Ibid., hal. 98
[3] Lao Tzu, Tao Te
Ching-81 Filsafat Hidup Tao (Jogjakarta:
new diglossia Yogyakarta), 2010., hal 29
[4] Ibid., hlm 32
[5] Id.wikipedia.co.id