Selasa, 29 Mei 2012

Revisi Makalah


ASPEK-ASPEK KETUHANAN DAN MANUSIA DALAM TAO
Makalah ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mingguan pada Mata Kuliah Konfiusme dan Taoisme


Disusun oleh Kelompok V :
Firdaus (1110032100022)
Nur Fariza (1110032100014)




JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGEI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 
2012


1.    Aspek Ketuhanan dalam Tao
Di dalam taoisme, ketuhanan terwujud dalam berbagai cara. Dalam pengertian, semua penciptaan yang ada di alam ini adalah suatu wujud dari ungkapan tentang Tuhan atau menggambarkan tentang keberadaan Tuhan, seperti ungkapan dalam agama tao bahwa segala sesuatu datang dari tao dan segala sesuatu akan kembali kepada tao. Tetapi tao bukanlah mahkluk tertinggi, dia adalah prinsip alam, menyerap semua aspek penciptaan dengan tenaga atau kekuatan. Dia juga sering digambarkan sebagai yang tak dapat dirasakan, dilihat dan diraba.
Dalam agama tao dikenal banyak dewa-dewa dan roh-roh yang mendiami alam ini, pertama ada unsur ketuhanan yang terwujud dari energi asal. Kemudian ada dewa yang menciptakan dunia: banyak diantaranya adalah dewa-dewa masa lampau yang diambil dari taoisme, dewa-dewa yang lain yang berasal dari tradisi orang kebanyakan yang dipuja oleh orang banyak, orang-orang yang memiliki kekuasaan didunia, setelah mereka mati dianggap penguasa surga atau memiliki kekuasaan disurga dan juga dianggap sebagai dewa.
Karena dianggap sebagai dewa maka mereka dipuja dan dimintai pertolongannya. Pertolongan yang diminta-minta bermacam-macam sesuai dengan keinginan para pemuja. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Tao adalah prisip alam IA ada di alam ini. Dalam taoisme, sumber-sumber ketuhanan adalah tao dan dibandingkan dengan yang lain. Pada dasarnya tao diartikan sebagai “jalan” sebagaiman dijelaskan dalam buku-buku filsafat cina dan dalam kitab tao te ching[1].
Dalam taoisme, tao atau jalan menjadi prinsip alam yang menyatu dengan alam dan berada di atas segala sesuatu yang ada di alam ini. Tao melengkapi setiap penciptaannya dengan de atau te nya atau kekuatan khususnya, terutama setelah proses penciptaan itu sendiri terjadi barulah kekuatan itu diberikan. Sebagamana disebutkan sebelumnya bahwa tao tidak berbentuk, tanpa menempati ruang dan waktu, dan tidak terbatas. Tao yang awalnya sebagai sesuatu yang tanpa bentuk, melahirkan qi yang asli, kemudian yin dan yang, kemudian melahirkan segalanya yang ada di alam ini. Oleh karena itu, tao dianggap sebagai sumber dari segala sesuatu. Segala sesuatu yang ada di alam ini tidak terlepas dari tao, mereka hidup karena tao dan kembali kepada tao. Tao sumber segalanya dan tempat untuk mereka kembali.



Tao dikenal dalam dunia manusia  melalui dewa-dewa dan orang-orang yang dianggap setengah dewa yang menjelma dalam diri manusia sepanjang masa. Diantara orang-orang atau tokoh-tokoh tersebut yang paling terkenal adalah lao zi, taishang laojun, dewa lao yang dianggap maha tinggi dan di dewakan oleh kebanyakan orang di cina dan diluar cina. Oleh kerena itu dia dipuja oleh banyak orang yang membutuhkan pertolongannya. Pada masa awalnya lao zi diyakini sebagian orang hidup  sezaman dengan tao, namun dalam perjalanan waktu keyakinan tersebut bergeser. Sebagaimana keyakinan banyak orang, bahwa tao itu sendiri muncul sebelum terbentuknya alam ini, karena ialah yang menciptakan dan menggerakkan alam.
Kitab tao te ching yang diyakini berasal dari lao zi menggambarkan serangkaian inkarnasi atau kelahiran kembali dan perubahan bentuk manusia setelah mereka mengalami proses kelahiran kembali[2]. Konsep ini sama dengan konsep yang berkembang dalam agama budha yang menganggap tidak ada kematian dan kematian tersebut adalah suatu proses perpindahan manusia dari alam yang satu ke alam yang lain. Berdasarkan cerita rakyat lao zi berada dalam kandungan ibunya selama 81 tahun dan lahir bukan dari perut tapi dari ketiak ibunya, sebuah kisah yang cukup aneh. Oleh karena itu ia di anggap mahkluk aneh dan lain dari manusia kebanyakan yang ada didunia ini.
Para pengikut lao zi, termasuk zhang daoling pada tahun 142 M, menganggap bahwa dewa lao merupakan sumber dari wahyu yang sampai kepada mereka jadikan acuan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Didalam kitab-kitab klasik agama tao, terdapat gambaran dan penjelasan mengenai kelahiran dewa lao yang banyak dipuja orang, termasuk peranannya sebagai penasihat raja masa lampau yang penuh bijaksana dalam memimpin masyarakatnya. Didalam beberapa kitab klasik, dia dianggap sebagai seorang ratu adil yang akan menyelamatkan orang banyak dan akan membawa kedamaian didunia dimasa sekarang dan yang akan datang. Berdasarkan kitab hua bu jing (kitab yang menjelaskan perpindahan orang-orang barbarian yang ditulis sekitar tahun 300 M), setelah lao zi meninggalkan china, dia melanjutkan perjalannya ke India, disana ia menjelma menjadi Buddha, dengan membawa Tao (jalan) keluar dari cina dan diajarkan pada orang-orang disana. Mengaju pada kitab tersebut, maka tidak menolak kemungkinan bahwa pengaruh ajaran lao zi juga tersebar keseluruh India sebelum lahirnya Sidharta Gaotama yang menyebarkan agama budhha.


Pada abad ketujuh lao zi dijadikan “leluhur yang maha tinggi dan leluhur dari para raja-raja”, secara resmi kaisar memerintahkan pemujaan atasnya. Memalui contoh-contoh, gambaran-gambaran, wahyu yang dibawa oleh Lao Zi dan manifestasi ketuhanan atasnya merupakan sumber utama untuk memahami Tao secara mendalam.
Selain tokoh-tokoh yang dijelaskan diatas, ada sejumlah tokoh yang lain yang mencerminkan tentang Lao: beberapa diantaranya dikelompokkan dalam tritunggal. Mereka diyakini banyak orang berasal dari langit, mereka murni dan tidak tersentuh atas penciptaan dunia. Tai-i, yang lebih tinggi, secara kosmologi diyakini sebagai penggerak utama Tao dan sebagai penjelmaan dewa. Sebagai dewa, Tai-i adalah bagian dari tritunggal, tiga adalah satu, yang memainkan peranan penting dalam skema mikro kosmos dan makro kosmos Taoisme, untuk semua dewa-dewa alam dapat dijumpai dalam diri manusia. Tritunggal tidak hanya muncul didalam alam tapi juga dalam tiga “lapangan cinnabar” atau pusat kehidupan manusia. Disamping itu, tritunggal tersebut mengacu pada tiga proses kehidupan dan tubuh manusia, yaitu nafas, pokok (atau air mani) dan roh. Dalam praktek-praktek taoisme, ini merupakan proses penyemaian untuk menciptkan “kehidupan janin” dalam badan manusia. Untuk memberikan penghormatan atau hadiah kepada dewa-dewa mereka meminta bantuan kepada pendeta Tao melalui upacara keagamaan. Tidak hanya sekedar itu, energi kreatif dari Tao bermanfaat atau berguna untuk mempersatukan kembali masyarakat yang telah terpecah-pecah akibat berebut kepentingan.
Dalam agama Tao, dewa-dewa diartikan sebagai administrator dan birokrat yang dapat berbuat sesuatu jika mereka mau. Para pengikut Tao mamuja dewa-dewa yang meliputi dewa-dewa bintang dan dewa-dewa pencipta alam, seperti sungai-sungai yang penting dan gunung-guung yang suci. Dewa-dewa yang cukup terkenal sebelum perkembangan agama Tao juga dipuja oleh para pengikut tao yang memuja banyak dewa, sebagai contoh adalah raja kuining (Huang Di) dan ibu ratu dari barat (Xiwang mu). Raja kuning adalah seorang penguasa dalam masa lampau dan dipuja dalam pengikut confucius sebagaimana tradisi para pengikut Tao. Dia dijadikan penguasa ideal, leluhur untuk semua orang cina, dia seorang ahli dalam seni penguasaan diri dan usia lanjut. Salah satu dari penjelamaan dewa lao adalah penjelmaannya sebagai penasihat raja kuning, dan mereka menciptakan hubungan baik antara penguasa dan penasehat atau antara raja kuning dan dewa lao.




Ibu ratu dari barat sebagaimana mengacu pada kitab zhoangzi adalah sebagai seorang yang telah “memperoleh tao”, danjadi dia dapathidup abadi atau selamanya. Dia merupakan dewa yang sangat terkenal dimasa dinasti Han, dia dipuja oleh raja dan masyarakat umumnya. Pada abad ke-3 SM, pemujaan  terhadapnya berlangsung cukup lama dan berkembang dengan jumlah yang sangat besar yang mengharapkan kedatangannya membawa perdamaian baru dan kemakmuran. Dia menganjurkan kepada penguasa pada masa lampau tentang kepemimpinan dan keyakinan kepada diri sendiri dan khususnya mengacu kepada ajara-ajaran tao.
Sepanjang abad agama tao juga memuja dewa-dewa yang terkenal dengan julah yang cukup banyak. Dewa-dewa ini berasal dari manusia dan mereka digolongkan sebagai dewa setelah mereka mati. Sedangkan tingkatan yang lebih tertinggi adalah roh-rohnya para kaisar. Kadang-kadang juga roh-roh para kaisar ini dianggap paling muda dari kaisar penguasa langit dan bumi. Para pengikut tao dan para dewa tao mempunyai hubungan erat. Mereka adalah dewa yang berada di luar  dewa-dewa terdisi orang kebanyakan atau bagian dari dewa-dewa yang menguasai bumi atau dikenal juga sebagai raja bumi.
Dewa-dewa dar teradisi orang kebanyakan meliputi tokoh-tokoh terkenal, beberapa diantara mereka dipuja oleh sebagian besar orang dewasa ini. Sebagai contoh Muzu yang digolongkan sebagai dewi setelah dua abad mendapat pemujaan dari orang banyak, dan dikelompokan kedalam  tingkatan para dewa. Akhirnya, pada abad ke-7, dia menjadi kaisar langit sebagai istri dari kaisar tertinggi. Dewa terkenal lainnya, adalah guandi, yang berdasarkan sejarah merupakan pahlawan rakyat. Dia dikenal dengan keganasannya, seorang pemberani, dan tidak mengabaikan kesetiaannya kepada raja. Dia ditangkap dan dihukum mati pada tahun 219 M­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­___ sejarahnya diceritakan dalam roman tiga kerajaan, sebuah novel yang sangat terkenal pada masa dinasti ming. Keterangan Manzu terus berlangsung sampai dia memperoleh pengakuan raja, dan dia diberi gelar oleh kaisar sebagai dewa. Oleh karena itu, dia termasuk salah satu dewa yang juga banyak dipuja orang dari berbagai kalangan dan golongan.
Konsep ketuhanan dalam agama Tao di Kitab Too Tik Keng:
 Bab XIV
“Dilihatnya tidak akan kelihatan, Itulah dinamakan Maha Besar; Didengarnya tidak akan kedengaran, Itulah dinamakan Maha Ajaib; Disentuhnya tidak akan kesentuhan, Itulah dinamakan Maha Kecil. Ketiganya ini, tidaklah tepat kalau menerapkan langkah kebijakan, maka itu satu sama lain membaurkan diri pada satu kesatuan. Di atasNya tidak tampak kecerahan, di bawahNya tidak tampak kesuraman, perananNya terus berlangsung walaupun tanpa nama yang tepat, dan terus mengikuti kodratNya pulang kembali pada kehampaan. Bahwa mengenai apa yang dinamakan dengan ‘Bentuk Yang Tiada Berbentuk’, ataupun ‘Rupa Yang Tiada Berbenda’ itu, tiada lain justru dinamakan Maha Samar. Disambutnya Maha Samar itu tidak akan kelihatan WajahNya, diikutinya Maha Sama tidak akan kelihatan punggungNya”.
“Pegang teguh pada Hukum Too untuk menguasai kondisi zaman sekarang, akan dapat mengetahui kondisi awal zaman dahulu, dan hal semacam itu tepat benar kalau dinamakan Kedisiplinan Too”.22
Bab XVII
“Mengenal adanya Dewa Yang Maha Tinggi itu, orang yang pertama benar-benar tidak tahu pada kematiannya, orang yang kedua pada bersikap mendekati dan memujinya, orang ketiga pada bersikap menyeganiNya, dan orang yang terakhir pada bersikap menghinanya. Timbulnya perbedaan-perbedaan itu tiada lain karena adanya Kurang Keyakinan, Ada Keyakinan dan Tiada Keyakinan yang memainkan peranan pokok”.
“Alangkah samar dan jauhnya sabda mulia yang diberikan Dewa Yang Maha Tinggi itu. Setelah Aku mencapai keberhasilan dalam jasa dan karya, maka masyarakat ramai pada berkata serentak, bahwa Aku Sendiri adalah penjelmaan Dewa Yang Maha Tinggi itu”. H. 26
Bab XXV
“Ada ‘Peranan Gaib’ yang berhasil menciptakan benda dari Alam Maha Kosong, kejadian itu lebih awal dari kelahiran langit dan bumi, sangatlah sunyi dan samar, berdiri sendiri tanpa berubah, mengedarkan benda tanpa mengenal lelah, sehingga dapat dipandang sebagai Ibu Alam Semesta. Aku tidak tahu siapakah nama ‘Peranan Gaib’ yang beraksi itu, maka disunting huruf ‘Too’ sebagai nama untuk Dia, dan secara mendesak disunting lagi nama ‘Besar’ untuk Dia”.
“Besar dinamakan Lenyap, Lenyao dinamakan Larut, Larut dinamakan Putar Balik. Maka itu Too sebagai Yang Besar, Langit sebagai Yang Besar, Bumi sebagai Yang Besar, Manusia sebagai Yang Besar. Di dalam alam semesta terdapat Empat Besar, sedangkan manusia menduduki peringkat utama. Manusia berdasarkan bumi sebagai Hukum, Bumi berdasarkan Langit sebagai Hukum, Langit berdasarkan Too sebagai Hukum, Too berdasarkan Wajar sebagai Hukum”. H. 38
Penciptaan
Bab XXXIX
“Dari pembukaan zaman sampai ke zaman purba, sesuatu yang mendapatkan karunia ‘Yang Maha Esa’ itu adalah ___ Langit mendapatkan karunia menampilkan kejernihan, Bumi mendapatkan karunia menampilkan kestabilan, Dewa mendapatkan karunia menampilkan kemukjizatan, Lekuk bumi mendapatkan karunia menampilkan kepadatan, Makhluk mendapatkan karunia menampilkan kelahiran, Maha raja mendapatkan karunia menampilkan dirinya sebagai pemimpin Negara.__- semua itu tiada lain adalah karunia ‘Yang Maha Esa’:.
“Langit tiada menampilkan kejernihan, khawatir akan mengalami keretakan; Bumi tiada menampilkan kestabilan, khawatir akan mengalami kehancuran;Dewa tiada menampilkan kemukjizatan akan mengalami kemusnahan; Lekuk bumi tiada menampilkan kepadatan akan mengalami kekeringan; Makhluk tiada menampilkan kelahiran akan mengalami kelenyapan; Maha raja tiada menampilkan keagungan akan mengalami ketimpangan”.
“Maka itu Kemuliaan bersendikan Kehinaan sebagai pokok pangkal, dan Keluhuran bersendikan Kerendahan sebagai pokok dasar. Maka itu pun Maha raja menyebutkan dirinya sebagai Kouw, Kuat, dan Put Kouw. Bukankah penyebutan itu menggunakan dasar Kehinaan sebagai pokok pangkal? Bukankah memang demikian? Maka itu pun penyampaian Amanat-Rakyat yang berkelebihan tak ubahnya seperti tiada Amanat yang disampikan”.
“Janganlah bernafsu memburu kedudukan mulia yang semulia batu giok, dan janganlah mengejar tindakann keras yang sekeras batu pualam”.      
h. 56
Konsep Manusia
Bab XLII
“Too melahirkan Satu, yaitu Awal Maha Ada; Satu melahirkan Dua, yaitu Langit dan bumi; Dua melahirkan Tiga, yaitu Zat, Hawa dan Roh; Dan Tiga melahirkan Makhuk Semesta. Bahwa segala makhluk tidak lepas daripada memanggul Sifat Im disamping merangkul Sifat Yang, selain itu ada lagi menampung dobrakan Unsur Hawa yang dipandang sebagai Kenetralan Sifat Im Yang”,
“Bahwa apa yang tiada berkenan di hati orang banyak itu, justru semata ditujukan pada Kouw, Kuat, dan Put Kouw, tapi semua itu malah dijadikan sebutan nama oleh bangsawan. Maka itu sifat benda dalam dunia memang penuh keanehan, ada yang rusak malah jadi berguna, atau yang masih berguna malah jadi rusak. Maka itu pun apa yang diajarkan orang kepadaKu, Aku akan mengajarkan juga kepadanya”.
“Sesungguhnya kepadaKu ‘Orang Yang Lalim Tidak Mendapatkan Kematian Yang Wajar’, dan Aku akan menganggap hal itu sebagai Bapak Pendidikan”.
H. 60
Bab L
“Kelahiran itu tanpa kecuali akan mendatangkan kematian. Bahwa pengikut kelahiran itu menduduki tiga per sepuluh dalam perbandingan, dan pengikut kematian itu pun menduduki tiga per sepuluh dalam perbandingan. Dari kelahiran manusia sampai dengan adanya musibah dalam gelanggang kematian itu, juga menduduki tiga per sepuluh dalam perbandingan. Bahwa mengapa sampai timbul kejadian seperti itu? Justru karena adanya kepadatan yang timbul oleh kelahiran demi kelahiran”.
“Rupa-rupanya tersiar juga berita yang menyarakan bahwa orang yang pandai melindungi jiwa-raganya itu tidak akan berpapasan dengan badak maupun harimau dalam perjalanan darat, dan tidak akan bergulat dengan senjata musuh dalam tugas ketentaraan. Sesungguhnya badak tidak akan pernah menyeruduk culanya, harimau tidak akan pernah mencakarnya kukunya, dan tentara tidak pernah melepaskan senjatanya. Bahwa mengapa sampai timbul kejadian seperti ni? Justru karena tiadanya gelanggang kematian untuk orang itu”.
Hal 66

Lo Cu, Terjemahan bebas oleh umat tri dharma si tubondo, kitab falsafah tiongkok purba Too Tik Keng 1985


1.                  2.     Konsep Mengenai Manusia dan Masyarakat
Kekuatan yang diperoleh oleh sang Taois adalah te, daya sang Tao diranah Ada, yang diterjemahkan sebagai “kebajikan”. Akan tetapi,Lao-tzu memandangnya sebagai hal yang berbeda dari kebajikan konfusian[3]: “Kebajikan yang lebih unggul” dalam Sang Taoisme adalah kekuatan terpendam yang tidak pernah menuntut pencapaiannya: ia adalah “kekuatan misterius” (hsuan te) Sang Tao yang hadir di hati orang bijak”orang yang mempunyai kebajikan yang unggul tidak pernah bertindak (wu-wei), tetapi tidak ada yang dia tinggalkan terbengkalai.”
2.1. Idaman Sosial akan Primitivisme
Setiap campur tangan manusia yang jenuh keinginan dipercaya akan dapat meruntuhkan harmoni proses perubahan berbentuk yang alamiah. Irama spontan komunutas petani primitive dan simbiosisnya yang tidak sadar diri dengan siklus alam adalah masyarakat idaman Sang Taois.
Chuang-tzu suka mempertentangkan buatan-langit dan buatan-manusia: yakni, alam, dan masyarakat. Dia ingin manusia meniggalkan semua “alat yang cerdik” yang dibuat yang memfasilitasi pekerjaannya tetapi mendatangkan “hati yang licik” dan jiwa-jiwa yang terhasut tidak didiami sang Tao[4]. Demikian pula manusia harus meninggalkan semua konsep mengenai ukuran, hukum, dan kebajikan.
2.2. Tujuan-tujuan religius individu
Orang suci Konfusian (sheng) dipandang sebagai penguasa zaman kuno atau orang bijak yang gaung yang mengajarkan kepada orang cara untuk kembali ke ritus-ritus zaman kuno. Akan tetapi, orang suci Taois bersifat batiniah (nei-sheng), meskipun itu dapat menjadi wujud di dalam kerajaan lahirlah (wai-wang) yang mengembalikan Dunia sang Tao melalui pengendalian nafsu: yang disebut secara bervariasi “tidak campur tangan” (wu-wei), “olah batin” (nei-yeh), atau “seni  hati dan pikiran” (hsin-shu).
Orang bijak sang Taois yang sudah tua menjadi seorang yang suci karena dia telah mampu mengolah dirinya sendiri selama keberadaan yang panjang; masa hidupnya yang panjang itu sendiri adalah bukti kesucian dan persatuan dengan sang Tao.
Wawasan mistik Chuang-tzu membuat dia mencemooh orang-orang yang berjuang mendapat umur panjang dan keabadian melalui praktek-praktek fisiologis. Namun demikian, keabadian fisik adalah tujuan seorang Taois mungkin lama sebelum dan berdampingan dengan penegembangan mistisisme Sang Taois. Ahlin kekelan mempunyai suatu pilihandi antara banyak metode yang semunya dimaksudkan untuk memulihkan energi-energi murni yang dimiliki pada saat lahir yang daya hidupnya yang sempurna dikagumi oleh Lao-tzu.
Manusia sempurna telah menyamakan irama hidupnya sedemikian sempurna dengan irama daya-daya alam sehinmgga dia menjadi tak-tgrbedakan darinya dan memiliki kekekalan dan keterbatasan yang melampaui siklus kehidupan dan kematian orang biasa. Dia adalah “roh murni”. Dia tidak merasakn panasnya padang rumput yang terbakar juga dinginnya air yang sedang :banjir”; tidak ada yang dapat mengagetkan atau membuat dia takut. Bukan berarti kebal secara sihir, tetapi dia begitu berhati-hati dalam menghindar dan mendekat, sehingga tidak ada yang dapat melukainya.”
“orang seperti ini mengendarai awan-awan sebagai keretanya dan matahari dan bulan sebagai kudanya”. Tema pengembaraan rohaniah (yuan yu), yang dapat ditelusuri kembali perjalanan jiwa semanistik, muncul apabila Chuang-tzu berbicara tentang manusia.sempurna.
Pengembaraan ini adalah perjalanan di dalam diri mereka sendiri: mereka berkelana melalui yang tak-berhingga. Melampaui pembedaan-pembedaan sehari-hari atas benda-benda dan bersatu dengna sang Tao.
Pada masa Mencius, ada tiga pandangan tentang manusia, pertama, manusia pada dasarnya tidak baik maupun tidak buruk, kedua, manusia itu baik dan buruk (yang nampak berarti bahwa manusia mempunyai elemen-elemen baik maupun buruk), dan ketiga, sebagian manusia pada dasarnya baik, dan sebagian lagi buruk. Pandangan Mencius yang memandang bahwa pada dasarnya manusia adalah baik kelihatannya lebih dekat pada pandangan kedua, dalam arti bahwa pada dasarnya manusia itu baik, tetapi jika elemen-elemen baik maupun yang buruk tidak dikontrol dengan semestinya, ini dapat berkembang menjadi jahat. Untuk membuktikan bahwa pada dasarnya manusia itu adalah baik, Mencius memberikan contoh bahwa siapa saja ketika secara tiba-tiba melihat ada seorang anak yang nyaris jatuh ke dalam sumur, mereka tanpa pengecualian akan segera merasa terpanggil untuk menyelamatkannya.
Berdasarkan kasus di atas, Mencius mengembangkan pendapatnya bahwa, siapa saja yang miskin akan perasaan simpati atau miskin akan kemampuan untuk ikut prihatin adalah bukan manusia, siapa saja yang miskin akan rasa bersalah, rasa malu maka dia adalah bukan manusia, siapa saja yang miskin kerendahan hati adalah bukan manusia, dan siapa saja yang miskin pada perasaan benar dan salah ia juga bukan manusia. Bagi Mencius, perasaan simpati, perasaan-perasaan ikut prihatin adalah awal dari kebaikan hati, rasa malu adalah awal dari kebijakan, kerendahan hati dan kemampuan mendahulukan yang lain adalah awal dari kesopanan, dan kepekaan terhadap yang benar dan salah adalah awal dari kebijaksanaan (wisdom). “Keempat awal” (“four beginnings”) ini ada pada semua manusia yang jika berkembang penuh maka akan menjadi empat “keutamaan yang konstan”. Keutamaan-keutamaan ini, jika tidak dihalangi oleh kondisi eksternal, menurut Mencius, akan berkembang dengan sendirinya dari dalam, seperti sebuah pohon yang tumbuh dari bijinya.
Ini tidak berarti Mencius kemudian mengabaikan pengaruh dari lingkungan sekitar. Seperti yang dikatakan oleh Mencius dalam menerangkan mengapa air dapat naik ke atas, yang mana itu bukanlah sifat alamaiah dari air. Menurut Mencius, itu karena adanya kekuatan dari luar yang mampu membuat air naik ke atas.
Bagi Mencius, “empat awal” adalah merupakan sifat bawaan yang ada dalam diri manusia sejak awal hidupnya, dan bukan sesuatu yang merupakan ‘ditempelkan’ dari luar. Selain itu, “empat awal” juga merupakan pemberian ‘Langit’. Dengan perawatan yang baik keempat ‘awal’ ini akan tumbuh menjadi disposisi moral yang penuh daya hidup dan kuat yang disebut ‘changde’.
Satu konsep Mencius yang harus dipahami adalah Hao Jan Chih Ch’i. Hao Jan Chih Ch’i merupakan ‘daya’ yang besar, yang kebesarannya melampaui daya manusiawi belaka. Hao jan diterjemahkan oleh Fung-Yu lan sebagai yang besar, kuat. Maka Hao Jan Chih Ch’i diterjemahkan Fung Yu-lan sebagai “the Great Morale”. Menurut Fung Yu-lan, konsep Hao Jan Chih Ch’i lebih dari sekedar moral antar manusia, tetapi ini menaruh perhatian pada baik manusia maupun dunia, maka bagi Fung Yu-lan, Hao Jan Chih Ch’i adalah bernilai sebagai sebuah “super-moral”.
Metode dalam mengembangkan dan mengolah Hao Jan Chih Ch’i ini mempunyai dua aspek, pertama yang disebut sebagai “memahami Tao”, yaitu jalan atau prinsip yang mengarah pada pendayagunaan pikiran, dan yang kedua adalah yang disebut Mencius sebagai “akumulasi dari kebijakan”, yaitu secara konstan melakukan apa yang seharusnya dilakukan dalam dunia ini sebagai “warga dunia”. Kombinasi dari dua aspek ini disebut Mencius sebagai “kombinasi dari kebijakan dan Tao”.
 Maka setelah manusia mampu mencapai pemahaman Tao dan menapak jalan panjang dalam mengakumulasi kebijakan, apa yang disebut sebagai “Great Morale” itu secara alamiah akan menampakkan dirinya sendiri.
Bagi Mencius, mengolah Hao Jan Chih Ch’i (“the Great Morale”) adalah seperti menumbuhkan padi. Seseorang harus melakukan sesuatu, dan itu adalah melaksanakan keutamaan. Meski Mencius lebih sering membicarakan kebijakan dari pada kebaikan hati manusia, pada dasarnya bukanlah dimaksudkan untuk menafikan satu sama lain. Bagi Mencius, kebijakan adalah terkait dengan ekspresi luar, sedangkan kebaikan hati manusia adalah isi dalamnya. Maka jika seseorang melaksanakan secara konstan kebijakan, “the Great Morale” secara alamiah akan memasukiKonfusius mengajarkan bahwa ren (‘kasih’ atau sumber gerak kehidupan), yi (keharusan moral) dan li (relasi tepat) dan Mencius memberikan alasan mengapa manusia harus ren dan apa yang menjadi dasar manusia bertindak ren, yi dan li pada sesama.


Jawaban utama yang diberikan oleh Mencius adalah karena pada dasarnya manusia itu baik. Dimulai dengan mengolah Hao Jan Chih Ch’i (“the Great Morale”) yang ini akan memberikan daya yang sangat besar kepada “empat awal” yang merupakan bawaan dalam diri setiap manusia dan sekaligus merupakan pemberian dari ‘Langit”. ‘Empat awal’ ini kemudian akan mendorong mewujudnya keutamaan-keutamaan yang diajarkan oleh Konfusius, yaitu ren, yi, li dan zhi. Ketika manusia sudah mempraktekkan keutamaan-keutamaan itu, dia akan menjadi pribadi yang utuh, dan sesuai dengan yang diajarkan oleh Mencius, dan jika setiap orang telah melakukan atau mempraktekkan keutamaan-keutamaan itu, masyarakat, negara akan menjadi damai dan sejahtera.
Di dalam literatur-literatur klasik Cina, kata Taoisme pertama kali ditemukan di dalam tulisan-tulisan Shi Chi (catatan -catatan sejarah) yang ditulis oleh Ssu-ma Ch’ien (145-867 BC), yakni empat ratus tahun setelah kematian Lao Tzu.
Jika kita membaca tentang Tao kita bisa merumuskan bahwa di dalam Tao terdapat ajaran “Etika Hidup” dan juga ada ajaran “Ke-Tuhan-an” yang samar. Boleh dibilang Tao merupakan hasil perenungan dan pemikiran dari pendiri agama tersebut yaitu Lao Tzu. Tao ibarat perjalanan Lao Tzu dalam mencari Tuhan.
Disinilah perbedaan mendasar antara agama Tao dan agama lainnya khususnya agama Semit. Agama Semit merupakan agama yang mana Wahyu Ilahi diturunkan atas para nabi. Sedangkan Tao lebih dari pencarian agama sejati oleh seseorang yang bernama Lao Tzu, dimana petunjuk ketuhanan tidak diturunkan dari Tuhan tetapi didapat atas hasil pencerahan, seperti yang Budha lakukan. Yang mana bisa kita simpulkan bahwa jika kita bersungguh-sungguh mencari Tuhan dengan perenungan akal maka pada akhir pemikiran apa yang kita dapatkan akan sama dengan apa yang Tuhan ajarkan.
Lao Tzu dalam perenungan dan pemikirannya menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini mengandung dua unsur yang saling berlawanan, dan setiap unsur yang berlawanan tersebut saling tergantung satu sama lain. “Sebab Akibat”
Dalam Metafisika Taoisme, Lao Tzu yang merupakan pendiri Tao menganggap bahwa Tao adalah “sumber umum bagi seluruh alam semesta”. Tao sebagai “asal usul yang unik dari dunia”. Lao Tzu secara eksplisit mengatakan “ Tao menghasilkan yang satu, yang satu menghasilkan yang dua, yang dua menghasilkan yang tiga dan yang tiga menghasilkan sepuluh ribu hal lainnya.
Yang Satu (The one), menghasilkan yang dua dimana yang dua ini meliputi sisi feminin dan maskulin (Yin & Yang/ Positif & Negatif). Yang tiga merupakan kesatuan antar Yin dan Yang. Dan dari yang tiga (Yin & Yang) menghasilkan sepuluh ribu hal lainnya yang mana dari yang tiga inilah merupakan asal mula alam semesta menurut versi Taoisme.
Dari paparan diatas kita peroleh[5] :
Yang Satu (The One) = Tao
Yang Dua (Yin & Yang) = Firman
Yang Tiga (Kesatuan Yin & Yang) = awal alam semesta
Segala sesuatu berasal dari Tao
Tao tak bisa dipahami (tak ada yang setara) tetapi Tao ada



Jika kita perhatikan 5 paparan diatas, maka bisa kita baca bahwa itu merupakan Konsep Ketuhanan hakiki yang dimiliki oleh setiap agama besar.
ajaran Tao memandang Tuhan (Tao) sebagai sesuatu yang spontanitas, apa adanya tanpa keinginan sesuatu melainkan apa yang terjadi dengan sendirinya. Sedangkan dalam agama Semit dan Vedic Tuhan (Tao) sebagai yang Maha Menguasai dan Maha Berkehendak. Dari sini tampak jelas sekali bahwa Tao merupakan hasil pemikiran dan bukannya wahyu Tuhan.
Di dalam Konfusianisme oleh Kong Hu Chu (551 SM – 479 SM) , Tao adalah prinsip umum yang mengatur moralitas , sementara Te adalah keutamaan individual. Akan tetapi, bagi Lao Tzu, Tao adalah realitas yang paling utama sekaligus prinsip umum dari alam semesta. Sementara, Te adalah partikularisasi dari Tao yang terwujud dalam diri seseorang, ketika ia hidup sesuai dengan Tao. Te adalah kekuatan baik dari luar atau dalam Tao yang menyelimuti segenap aspek di alam raya ini. Jadi Te pada hakikatnya identik dengan Religiusitas (yang bersifat ilahi) dalam sesuatu baik manusia atau makhluk lainnya. (viiaputih.)
Secara garis besar, pengembangan ajaran Tao dapat dikelompokkan menjadi:
1.                  1.      Hubungan Manusia dengan Alam Semesta.
Manusia tercipta karena sebuah proses alam, karenanya kelangsungan hidup manusia tidak bisa terlepas dari alam. Kaum Tao berpendapat bahwa agar manusia bisa tetap bisa bertahan hidup maka harus bisa menyesuaikan diri dan menjaga keharmonisan dengan Alam. Karena itulah konsep dasar ajaran Tao adalah adanya ‘Keharmonisan’ antara manusia dengan Alam Semesta. Ditambah dengan adanya rasa ingin tahu, maka mulailah manusia berusaha mengenal “Karakter” Alam Semesta. Hingga kemudian terciptalah berbagai Ilmu Perbintangan (Astronomi & Astrologi), Kalender untuk mengenal musim, Hongsui dan lain sebagainya. Berbagai pengetahuan tersebut kemudian dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai kesulitan hidup. Dengan mengenal “Karakter” Alam Semesta maka manusia bisa hidup secara ‘Harmonis’ didalamnya.
1.                  2.      Hubungan Manusia dengan Tuhan / Dewa-Dewi / Para Suci.
Karena keterbatasan panca indera, kadang manusia merasa ‘Tidak Berdaya’ menghadapi berbagai peristiwa alam seperti banjir, gempa bumi dan lain-lain. Manusia sadar akan keterbatasan dirinya. Maka mulailah manusia ‘Mencari Perlindungan’ kepada sosok ‘Penguasa Alam’. Mulailah dilakukan berbagai pemujaan dan persembahyangan untuk memohon perlindungan. Semakin lama semakin tertata seiring dengan perkembangan budaya.
Dalam perkembangan selanjutnya muncullah sosok-sosok pemikir yang tidak puas hanya dengan sebatas pemujaan dan ritual belaka. Mereka berusaha mencari cara untuk mengungkap misteri keberadaan ‘Sang Pencipta’. Mulailah manusia tidak hanya mengenal pemujaan yang bersifat formalitas belaka, melainkan mulai berusaha mengadakan hubungan yang bersifat lebih pribadi dengan ‘Penguasa Alam’. Hingga kemudian manusia mulai mengenal ‘doa’. Ada juga yang berusaha mengadakan ‘kontak’ dengan ‘Sang Pencipta’ melalui ‘Keheningan’ yang kini kita kenal dengan meditasi. Memunculkan konsep keagamaan berupa ajaran kebenaran / kebijaksanaan dan metode spiritual yang berhubungan dengan ‘Pencerahan’! Demikianlah perubahan dan perkembangan terjadi selama ribuan tahun hingga kini kita mewarisi berbagai bentuk ritual, ajaran kebenaran, doa, meditasi dan metode spiritual lainnya.
1.                  3.      Hubungan Manusia dengan Sesamanya.
Manusia adalah mahluk sosial yang punya kecenderungan untuk hidup berkelompok. Dan seiring dengan semakin berkembangnya peradaban maka secara otomatis mulailah tersusun berbagai aturan dan norma yang berkembang menjadi tradisi, adat istiadat, tata krama dan lain sebagainya. Tujuannya untuk menata kehidupan sosial manusia agar teratur, menghindari perselisihan, mengendalikan kejahatan dan lain-lain, sehingga hidup menjadi lebih teratur dan nyaman. Berawal dari sinilah kemudian manusia mulai mengenal organisasi dengan aturan yang baku atau hukum. Dan pada tahap berikutnya ini merupakan cikal bakal terbentuknya sebuah pemerintahan.
1.                  4.      Hubungan Manusia dengan Kehidupan Pribadinya.
Mungkin ini salah satu inti utama dari ajaran Tao yang sangat erat kaitannya dengan naluri alamiah manusia yang berusaha untuk bertahan hidup dan meningkatkan kualitas hidup. Dengan adanya kecerdasan dan akal budi yang dimiliki manusia. Maka secara otomatis muncul sosok-sosok cerdik pandai yang berpikir tentang hal-hal yang berada diluar jangkauan panca indera dan berada diluar kendali.
Mulailah muncul pemikiran tentang berbagai fenomena kehidupan seperti: “Kenapa manusia bisa sakit dan mati? Mulailah muncul sosok-sosok genius yang berusaha untuk mencegah kematian fisik. Walaupun tidak berhasil, tetapi akhirnya terciptalah berbagai ilmu pengobatan, ramuan suplemen dan juga senam serta ilmu pernapasan yang bisa menjaga kesehatan fisik dan memperpanjang usia.
Disisi lain para Pakar Tao Kuno juga berusaha mencari tahu “Apa yang terjadi setelah kematian fisik manusia?” Mulailah berkembang Olah Spiritual Tao yang mengembangkan segenap potensi diri untuk mengungkap misteri kematian. Dengan harapan, jika kita bisa mengungkap misterinya, maka kita bisa mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapinya. Ini juga merupakan reaksi alamiah manusia yang mempunyai rasa ingin tahu serta berusaha mencari selamat.(psychologmania. Ajaran tao-taoisme)



DAFTAR PUSTAKA 

Tzu,lau. tao te ching 81 filsafat hidup tao. Yogyakarta : New Diglossia. 2010, Cet. I.
Tanggok, M.Ikhsan. Mengenal Lebih Dekat Agama Tao. Jakarta : UIN Jakarta Press.2006. Cet.I
Lo Cu, Terjemahan bebas oleh umat tri dharma si tubondo, kitab falsafah tiongkok purba Too Tik Keng 1985

 [1] Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao, UIN Jakarta Press: 2006, hal. 97
 [2] Ibid., hal. 98
 [3] Lao Tzu, Tao Te Ching-81 Filsafat Hidup Tao (Jogjakarta: new diglossia Yogyakarta), 2010., hal 29
 [4] Ibid., hlm 32
 [5] Id.wikipedia.co.id

Ajaran Perkawinan dan Kematian dala Konfusianisme


Ajaran Perkawinan dan Kematian dalam kofusius

              Upacara Chio Thau adalah upacara pernikahan tradisional Peranakan lengkap dengan segala pernak-pernik upacara yang menyertainya. Disebut Chio Thau ―artinya ‘mendandani rambut/kepala’ (to dress the hair), bukan ‘naik ke kepala’―karena, dalam bagian terpenting upacara ini, di atas sebuah tetampah besar warna merah terlukis yin-yang dan menghadap sebuah gantang (dou, tempat menakar beras), pengantin (laki-laki dan perempuan) disisiri oleh ibunya sebanyak tiga kali; setiap sisiran dibarengi dengan doa-doa tertentu: misalnya: sisiran pertama agar si pengantin diberi jodoh yang panjang, sisiran kedua: banyak rejekinya, sisiran ketiga: anak-anaknya semua menjadi orang yang membanggakan, dan sebagainya.
Kematian bukanlah suatu hal yang menyenangkan untuk di bicarakan maupun di persoalkan. Kematian adalah sesuatu yang seram dan menyedihkan, sesuatu yang benar-benar mematikan suasana, sesuatu yang hanya coock bagi buah pembicaraan di kuburan. Menurut cara berpikir orang Buddhis kematian adalah kunci yang membuka takbir kegelapan dari takbir hidup yang tampak rahasia.  Yang apabila pada suatu saat menimpa pada kita, akan dapat melunakkan hati bagaimanapun kerasnya.
Kuburan Tionghoa terdiri dari dua bagian utama.  Yang pertama adalah "mu qiu" atau tempat dimana peti jenazah dikuburkan. Mu gui ( bukit kuburan). Saya sebut bagian pertama untuk tidak membingungkan. Bagian ke dua itu terdiri dari beberapa bagian. Ada tembok yang mengelilingi mu gui, bagian depan disekeliling dibelakang batu nisan disebut mu an qian kao (  tembok yang mengelilingi peti jenazah dikuburkan ) dan dibagian belakang disebut mu an hou kao.
Kuburan Tionghoa terdiri dari dua bagian utama.  Yang pertama adalah "mu qiu" atau tempat dimana peti jenazah dikuburkan. Mu gui ( bukit kuburan). Saya sebut bagian pertama untuk tidak membingungkan. Bagian ke dua itu terdiri dari beberapa bagian. Ada tembok yang mengelilingi mu gui, bagian depan disekeliling dibelakang batu nisan disebut mu an qian kao (  tembok yang mengelilingi peti jenazah dikuburkan ) dan dibagian belakang disebut mu an hou kao.


  1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan yang lebih dikenal dengan istilah pernikahan menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar nikah mendapat awalan per dan akhiran an menjadi pernikahan yang berarti “melakukan perbuatan nikah”.[1] Sedangkan menurut R. Sardjono menyebutkan bahwa sebagai ikatan batin, perkawinan juga mengisyaratkan bahwa batin suami isteri tersebut terkandung niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama-sama sebagai suami isteri dalam membentuk dan membina keluarga bahagia dan kekal. Sementara itu, Vasanty mendefinisikan bahwa perkawinan adalah “menutup masa tertentu dalam kehidupan seseorang yaitu masa bujang dan masa hidup tanpa beban keluarga, khususnya pada orang Cina. Seseorang baru dianggap dewasa atau menjadi orang bila ia telah menikah”.
Pengertian menurut agama Konghucu adalah “salah satu tugas suci manusia yang memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih firman Thian, Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud kebajikan, yang bersemayam di dalam dirinya serta, selanjutnya memungkinkan manusia membimbing putra dan putrinya”.[2]

  1. Hukum Perkawinan
Dengan ditetapkannya Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka telah dikeluarkan hukum perkawinan agama Konghucu di Indonesia pada Tahun 1975. Menurut agama Konghucu, bila seseorang hendak melakukan perkawinan, maka ia diharukan terlebih dahulu diharuskan untuk mengetahui hukum perkawinannya.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh kedua calom mempelai. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Dasar perkawianan umat Konghuchu adalah monogamy demi tercapainya tujuan perkawinan yang suci murni.
  3. Perkawinan harus berdasarkan kemauan/persetujuan kedua calon mempelai, tanpa adanya pakasaan dari pihak manapun.
  4. Kedua calon mempelai masing-masing belum/tidak terikat dengan pihak lain yang dianggap sebagai hidup berumah tangga.
  5. Pengakuan iman wajib bagi calon mempelai sehingga benar-benar dewasa bukan saja dari segi usia tetapi juga dalam berfikir, bertindak, bertingkah laku, dan lain sebagainya.
  6. Pada waktu acara peneguhan perkawinan harus dihadiri oleh kedua belah pihak orang tua / wali mempelai demi kerukunan, kedamaian, kemajuan dan kebahagiaan kedua empelai sepanjang hidupnya, maka yang menyulut lilin pada altar persembahyangan adalah kedua belah pihak orang tua/ wali mempelai sebagai lambing merestui perkawinan kedua mempelai.
  7. Bilamana salah satu atau kedua belah pihak tidak memenuhi syarat-syarat dalam hukum perkawinan, maka upacara peneguhan perkawinan bisa dibatalkan.
  8. Perkawinan tidak bermaksud menceraikan seseorang dari bunda maupun keluarganya karena telah membangun mahligai baru, melaikan menyatukan keluarga yang satu dengan yang lain, memupuk rasa persaudaraan yang luas di antara manusia adalah bersaudara.
  9. Karena tujuan perkawinan membentuk keluarga harmonis, damai, maju, dan bahagia lahir dan batin, maka hokum perkawinan ini pada dasarnyatidak mengenal perceraian.[3]




  1. Maksud dan Tujuan Perkawinan
Tugas suci dan mulia, manusia yang memungkinkan manusia melangsungkan sejarah dan mengembangkan benih-benih firman Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud kebajikan antara lain berupa cinta kasih, kebenaran, keadilan, kewajiban dan susila.
Adapun tujuan perkawinan menurut agama Konghucu adalah untuk membentuk keluarga yang harmonis, damai dan bahagia. Karena tujuan perkawinan ini menurut adanya keharmonisan, kedamaian dan kebahagiaan, maka hukum perkawinan dalam agama ini pada dasarnya tidak mengenal perceraian. Karena tidak mengenal perceraian, maka sangat wajar bila perkawinan umat Konghucu senantiasa mengalami kedamaian, kebahagiaan, dan keharmonisan.

  1. Peran dan Fungsi Perkawinan
Salah satu pranata sosial yang sangat penting bagi masyarakat,karena melalui perkewenangan terbentuk keluarga sebagai salah satu unit sosial terpenting dalam masyarakat. Berfungsi mewujudkan adanya keluarga da memberikan keabsahan ataustatus kelahiran anak, dan juga mewujudkan adanya hubungan di antara kerabat-kerabat dari pasangan tersebut. Menurut agama konghucu, perkawinan juga tidak terlepas dari masalah peran dan fungsi. Fungsi ini mewujudkan pertanggung jawaban untuk manusia kepada kesadaran menjalankan norma-norma keutamaan dalam kitab suci agama Koghucu.

  1. Bentuk Upacara Perkawinan Konghucu

  1. Adat dan Upacara Sebelum Perkawinan
Upacara pekawinan yang dilakukan oleh umat Konghucu tidak terlepas dari nilai-nilai budaya masyarakat Cina keturunan maupun nilai-nilai agama yang mereka yakini keberadaannya.  Upacara perkawinan ini mempunyai ciri khas tersendiri yang dapam membedakannya dengan masyarakat dan agama lain di Indonesia.
Berbagai upacara dilakukan sebelum dilangsungkan perkawinan. Seperti upacara Lamaran, ikatan pertunangan dan upacara penentuan hari perkawinan. Misalanya lamaran dengan memerlukan walinya dan mencari wali untuk saat melamar perempuan yang ingin di lamar, di sambung dengan pertunangan jadi dengan dua belah pihak di temukan dan membicarakan tanggal dan sebagainnya untuk acara pernikahan tersebut. Adapun cara pertunangan di lingkungan keluarga umunya dilakukan dirumah pihak perempuan dan pihak laki-laki, jalan upacara pertunangan sebagai berikut :
1)      Jalannya upacara dipimpin oleh Kausing (Penebar Agama), Bunsu (Guru Agama) dan Haksu (Pendeta).
2)      Melakukan sembahyang kepada Thian (Tuhan Yang Maha Esa) dilakuakn di dpean pintu atau altar terbuka dengan cara menghadapa ke langit.
3)      Setelah itu melakukan sembahyang pada arwah leluhur.

Perkawinan upacara penentuan hari pernikahan dilaksanakan di rumah calon mempelai wanita dengan maksud untuk mendapatkan kesepakatan tentang pelaksanaan hari perkawinan. Pada saat upacara penentuan hari perkawinan ini, kedua belah pihak berunding tentang saat pelaksanaan hari perkawinan.[4] Pada saat penentuan hari perkawinan dalam agam konghucu ini biasanya dari pihak laki-laki membawa berbagai macam antaran. Yaitu :[5]
  1. Dua batang merah lilin besar yang berarti penerangan lahir batin
  2. Dua buah amplom merah (ang pao) yang didalamnya bisikan uang.
  3. Pakian wanita, sepatu, sandal, alat-alat kosmetik serta perhiasan.
  4. Buah-buahan , semuanya dimasukkan ke dalam peti merah.[6]

Setelah selesai, pembawa acara mempersiapkan wakil dan pihak laki-laki untuk memberi kata sambutan, sebagai ucapan terima kasih kepada pihak perempuan yang bersedia menerima mereka dan sekaligus menyerahkan semua barang yang dibawa kepada pihak wanita.
Acara tersebut ditutup dengan barang-barang antaran dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Biasanya berupa pakian pria dan sebagainnya. Pihak laki-laki dan keluarga pulang dan selesai menentukan hari perkawinan.[7]

  1. Adat dan Upacara pada saat Perkawinan

Upacara tersebut menggunakan pakaian khusus pernikahan ada Tionghoa. Jika perkawinan sudah tiba, pertama-tama pertama pengantin dirias duduk da nada banyak yang berhiasan melamabangkan warna merah (Thay kek). Kilin untuk laki-laki dan Hong Hong bagi pengantin wanita.
Pada saat dilakuakn upacara Cio Thau dibutuhkan seorang anak kecil Shio Liang atau Shio Houw umtuk melakukan upacara permulaan menyisir rambut pengantin, kemudian dilanjutkan oleh tukang rias yang mewajibkannya. Sewaktu pengantin laki-laki hendak maju ke rumah pengantin wanita, terlebih dahulu diadakan upacara Khibe : suatu pesta kecil bersama kawan dan sahabat. Lalu pengantin  berangkat diiringi dengan tetabuhan dan dipasangi petasan. Memasang petasan berdasarkan atas suaranya yang diumpamakan suara Guntur, karena siluman memang sanagt takut akan Guntur. Maka suara petasan itupun berarti mengusir segala setan dan siluman.
Sesampai di rumah laki-laki, mereka terus masuk ke kamar pengantin yang di dalamnya sudah tersedia sebuah meja dengan 12 macam King Ua yaitu sejenis bahan makanan yang disate dan diatur dengan alat-alat istimewa. Di samping itu, terdapat pula beberapa macam makanan yang diatur diatas meja lain, 2 kursi, 2 cangkir wedang onde dan 2 buah mangkok lengkap dengan sumpitnya. Sepasang lilin besar yang menyala menjadi perhiasan istimewa. Kedua pengantin ini berbeda di bawah Mak Comblang (Bwee Jien : orang yang perantara dirangkaikan perjodohan itu dan bertugas untuk menjajaki anggapan pihak lain)
Biasanya beberapa hari setelah selesai melaksanakan perkawinan, pengantin tersebut pergi ke kantor Catatan sipil untuk mencatat mengenai perkawinan yang telah mereka lakukan di Majlis atau Lithang. Pencatatan ke kantor Catatan Sipil merupakan salah satu bukti otentik bagi mereka bahwa kedua pasangan ini diakui secara sah sebagai suami istri.[8]



  1. Adat dan Upacara sesudah Perkawinan

Upacara perkawinan orang Tiongkok di Indonesia adalah tergantung pada agama yang dianut. Oleh karena itu, upacara perkawinan orang Tionghoa di Indonesia amat berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Upacara yang dilakukan sesudah perkawinan terbagi kedalam dua bagian yaitu upacara pulang tiga hari dan upacara pulang sebulan. Kedua upacara tersebut merupakan rangkaian pelaksanaan upacara yang dilakukan sesudah upacara perkawinan. Menurut tradisi China, setelah melakukan upacara perkawinan masih terdapat tradisi yang dikenal dengan istilah Upacara pulang tiga hari.
Upacara pulang tiga hari itu untuk pengantin baru dan untuk menjenguk orang tua, sanak keluarga yang lebih tua baik dari suami ataupun istri hal ini dilakuakn sebagai ungkapan rasa terima kasih atas segala doa restu, batuan moral maupun materil dari para sesepuh. Dalam kunjungan biasanya mereka membawa buah-buahan dan kue sebagai tanda terima kasih. Selain itu, mereka juga melakukan sembahyang sebagai ucapan terima kasih atas segala doa restu dari para leluhur, dengan menghadap altar keluarga yang ada di rumah[9].
Upacara pulang sebulan merupakan salah satu rangkaian upacara yang dilakukan setelah melaksanakan perkawinan. Setelah perkawinan sebulan , mereka juga mengunjungi orang tua untuk menyampaikan terima kasih dan mohon nasehat, biasanya mereka bermalam di rumah orang tuanya, bila tidak menetap disana upacara sebulan berjalan tidak khusus dengan melakukan upacara sendiri, namun ini hanyalah tradisi yang seringkali harus mereka lakukan.
Upacara-upacara seperti yang dipaparkan di atas baik sebelum, pada saat maupun sesudah perkawinan memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya secara keseluruhan sebagai suatu perceraian yang sesuai dengan adat dan upacara yang berlaku pada massyarakat China. Dengan demikian upacara perkawinan yang dilakukan oleh umat Konghucu tidak terlepas dari nilai-nilai budaya masyarakat Cina keturunan maupun nulai-nilai agama yang mereka yakini kebenarannya.

  1. Upacara Pernikahan - Chio Thau

Upacara Chio Thau adalah upacara pernikahan tradisional Peranakan lengkap dengan segala pernak-pernik upacara yang menyertainya. Disebut Chio Thau ―artinya ‘mendandani rambut/kepala’ (to dress the hair), bukan ‘naik ke kepala’―karena, dalam bagian terpenting upacara ini, di atas sebuah tetampah besar warna merah terlukis yin-yang dan menghadap sebuah gantang (dou, tempat menakar beras), pengantin (laki-laki dan perempuan) disisiri oleh ibunya sebanyak tiga kali; setiap sisiran dibarengi dengan doa-doa tertentu: misalnya: sisiran pertama agar si pengantin diberi jodoh yang panjang, sisiran kedua: banyak rejekinya, sisiran ketiga: anak-anaknya semua menjadi orang yang membanggakan, dan sebagainya.
Upacara Chio Thau ini berasal dari daerah Fujian Selatan (Minnan) semasa periode dinasti Qing (1644-1911), dan mungkin sudah tidak diketemukan lagi di Tiongkok, setelah terjadinya dua revolusi besar di sana. Revolusi itu Revolusi Xin Hai 1911, yang menyingkirkan semua produk budaya zaman Qing, dan Revolusi Kebudayaan 1966-1976, yang menghancurkan semua produk budaya yang dinilai feodalistik dan kapitalistik. Di kalangan Peranakan di Indonesia (Tangerang, Padang dan Makassar) dan juga di Malaysia (Melaka, Pulau Pinang)-Singapura, upacara perkawinan tradisional Chio Thau terselamatkan dari kepunahan, karena kaum Peranakan tidak terlalu terpengaruh oleh segala pergolakan politik yang terjadi di Tiongkok, dan hanya memandang upacara pernikahan tradisional Chio Thau sebagai pusaka budaya warisan kakek-moyang mereka yang harus mereka pertahankan mati-matian sebagai identitas budaya mereka. Sedemikian pentingnya Chio Thau dalam pandangan kaum tradisionalis Peranakan, sehingga kaum Peranakan di beberapa daerah tertentu di Tangerang, misalnya, bahkan sampai memandang pernikahan yang tidak disertai Chio Thau bukan pernikahan yang sah, dan anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan ini pun bukan anak yang sah.
Pakaian yang dikenakan saat Chio Thau―yakni baju putih-celana putih bagi laki-laki dan baju putih-kain batik warna dasar merah bermotif bulat-bulat putih, sehingga dikenal dengan nama Kain Onde―akan disimpan baik-baik dan dikenakan kembali pada waktu yang bersangkutan meninggal kelak sebagai pakaian mati.
Kembang goyang adalah beberapa aksesori rambut semacam tusuk konde terbuat dari perak berwarna keemasan bermotif flora dan fauna yang dianggap membawa keberuntungan. Di bagian tertentu kembang goyang diberi per (pegas) hingga bergoyang-goyang saat si pemakai bergerak. Kembang goyang yang khas Jabotabek ini merupakan bukti alulturasi Tionghoa-non Tionghoa, karena di Tiongkok tidak dikenal; pengantin di sana mengenakan hongknua (phoenix bonnet) saat menikah.[10]

http://www.makinjambi.com/2011/06/adat-pernikahan-tionghoa.html

  1. Ajaran dalam Kematian Konghucu

  1. Pengertian Upacara dan Ritual
Upacara merupakan pelaksanaan kegiatan yang di lakukan secara berkelompok atau sekumpulan manusia atau orang untuk melakukan kegiatan rutin dalam rangka untuk memringati hari-hari yang bersejarah yang dipimpin oleh pemimpin yang tertinggi dalam suatu organisasi atau departemen. Sedangkan Ritual merupakan tata cara keagamaan atau bisa di sebut dengan ucapan suci. Religi dan ucapan mherupakan unsur dalam kehidupan manusia di dunia.
Upacara da ritual adalah pelaksanaan dalam rangka mencapai tujuan hidup Agama dengan mempergunakan sarana atau media yang bisasa di sebut dengan upakara atau banten sebagai pelaksanaan. Upacara itu sulit di pisahkan seumpama sebutir telur maka kulit luar adalah merupakan upacara atau ritual, ritual ari telur adalah etika susila, upacara etika atau susila.

  1. Kematian
Kematian bukanlah suatu hal yang menyenangkan untuk di bicarakan maupun di persoalkan. Kematian adalah sesuatu yang seram dan menyedihkan, sesuatu yang benar-benar mematikan suasana, sesuatu yang hanya coock bagi buah pembicaraan di kuburan.
Menurut cara berpikir orang Buddhis kematian adalah kunci yang membuka takbir kegelapan dari takbir hidup yang tampak rahasia.  Yang apabila pada suatu saat menimpa pada kita, akan dapat melunakkan hati bagaimanapun kerasnya.
Kematian akan mengikat kita satu sama lain dengan benang emas cinta dan kasih,  dan yang dapat mengenyahkan rintangan-rintangan hidup berupa klasta, agama , kepercayaan bangsa(suku-suku) di antara manusia di sunia ini. Kematian meratakan segala-galanya tanpa kecuali.

  1. Roh leluhur
Menurt ahli sejarah kebudayaan E.B. Tylor , ia juga berpendirian bahwa bentuk agama yang tertua adalah penyembahan kepada roh-eoh yang merupakan personifikasi, (hubungan) dari jiwa-jiwa yang telah meninggal dunia, terutama nenek moyangnya.
Dewa-dewa yang menjadi pusat orientasi dan penyembahan manusia dalam tingkat agama seperti itu mempunyai ciri-ciri yang mantap dalam membayangkan seluruh umatnya, karena tercantum dalam mitologi yang seringkali telah berada dalam bentuk tulisan.
  1. Makna dan Fungsi upacara secara umum
  • makna upacara merupakan suatu kegiatan ritual keagamaan yang dilaksanakan secara berkelompok dilakukan dilingkungan tersebut.
  • Fungsi upacara adalah suatu alat komunikasi atau hubungan langsung dengan roh leluhur menurut kepercayaan dan keyakinan yang harus ditaati.[11]

Menurut A.R. Radelife Brown dalam tulisannya The Nature And Function of Ceremonial yang dimuat dalam buku The Ories of Sosiety mengulas fungsi upacara sebagai berikit :
  1. Dalam tiap tahp penyelenggaraan upacara merupakan pernyataan dari tingkat pemikiran yang efektif oleh dua atau beberapa orang sebagai pernyataan solidaritas dan perwujudan kebaikan hati orang-orang yang terlibat dalam upacara itu.
  2. Penyelenggaraan upacara bukannlah pernyataan perasaan secara spontan melainkan suatu kewajiban dan tugasmasing-masing orang untuk melaksanakannya dan menyatakan partisipasi dengan memberikan bantuan berupa hadiah (bingkisan) sehingga dalam upacara itu tampak keramah-tamahan mereka bertemu dan berfungsi komunikatif.
  3. Tiap intansi atau lembaga dari upacara mend=jadi hokum-hukum dasar dari masyarakat dan menjelaskan tentang keberadaan manusia.
  4. Upacara berfungsi memperbaiki atau merubah pandangan seseorang dan masyarakt karena adanya saling bertemu dan berbincang-bincang memupuk saling memberi dalam mengukuhkan tata tertib masyarakat.

  1. Makna dan fungsi kematian secara umum
  • Makna kematian menyadarkan manusia untuk tidak bersikap sombong kepada orang lain dan lebih bersikap cinta kasih kepada ornag lain.
  • Fungsi kematian meninggalkan duka yang sangat mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan atau adanya rasa kesedihan.

  1. Ajaran-ajaran kematian
Kematian itu sendiri Rohnya akan naik kepada Sang Pencipta Rohnya yang bersifat negative (Yin) naik pada sikap positif (Yang). Nabi Konghucu bersabda : “bila ornag yang melakukan  penghormatan kepada sampai dahi menyentuh tanah (Khee Song) ini menunjukkan keptuahan yang sungguh. Bila lebih dahulu menundukkan kepala sampai kaki menyentuh tanaj baru menghormati dengan Pai,itu menunjukkan kepada yang sangat dalam.
Ajaran-ajaran kematian dalam Agam Konghucu merupakan suatu ajaran yang harus ditaati oleh umat Konghucu. Dan di dalam kitabnya dijelaskan bahwa manusia berasal dari buni dan akan kembali kebumi. Dan seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya dari ia masih hidup sampai meninggal.






  1. Bentuk Upacara Kematian Konghucu

  1. Makna kematian dalam Agam Konghucu
Makna kematian dalam agama Konghucu merupakan rasa sakit hati seseorang anak kepada orang tuanya. Menurut mereka orang tua itu sangat berjasa karena ornag tua di waktu hidupnya sudah membesarkan anak-anaknya dari kecil hingga dewasa. Karena itu seorang anak diwajibkan untuk berbakti, hormat dan mendoakan orang tuanya diwaktu meninggal agar mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan didalam sana.
Menurut Ws. T. M Suharja makna kematian dalam Agama Konghucu adalah sebagai berikut :
  1. Anak melakukan bakti kepada orang tua dalam tiga hal yaitu :
  • Harus merawat pada saat dia dalam kesusilaan
  • Memakamkannya ketika ia meninggal dunia
  • Menyembahyangkan walaupun jarak juah
  1. Mendoakan orang yang telah meninggal dunia supaya rohnya mendapat ketenangan dan kedamaian di tempat yang abadi disisi Tuhan.
  2. Pewaris nilai-nilai atau norma-norma melalui proses sosialisasi.

  1. Cara merawat jenazah
  • Membersihkan
  • Mengganti pakaian jenazah
  • Tempat yang khusus untuk jenazah dan menggunakan kain yang berwarna dan corak bunga
  • Peti jenazah
  • Sembahyang
  • Peti ditaburi sesaju dengan mantra
  • Meletakkan tujuh buah mata uang logam
  • Memukul paku peti, searah dengan jarum jam.


  1. Proses upacara Kematian
  • Surat do’a Jib Hok : pengurusan jenazaH
  •  Surat do’a Mai Song : pemberangkatan jenazah
  • Surat do’a Sang Cong : tempat penguburan
  • Surat do’a Jib Gong : sembahyang dengan untuk memohon izin Tuhan.
  • Surat do’a Ngokok : manusia mencari nafkah[12]

Dengan adanya kaitan dengan pengaruh Tiongkok. Pada saat pemberangkatan jenasah, semangka yang dipakai di meja sembahyang dibanting hingga hancur ketika peti akan diangkat ke mobil jenasah. Ada cerita tentang kaisar Li Shimin [Li SeBin] yang mengunjungi neraka. Buah semangka yang dihancurkan ini adalah untuk para penghuni neraka yang sangat kehausan. Hiolo dan potret almarhum dibawa oleh anak lelakinya dengan diikat di badannya menggunakan kain blacu, serta ikut di mobil jenasah, sepanjang perjalanan ke pemakaman/krematorium, [gincua] disebar di jalan. Jaman dahulu, peti jenasah digotong ke kuburan, dan anggota keluarga berlutut [paikui] di tiap jembatan yang dilalui.
Setelah pemakaman, anggota keluarga menjalani masa berkabung (memakai putih) [TuaHa] atau [TuaPeq]. Masa berkabung ini berbeda-beda sesuai dengan hubungan dengan almarhum. Untuk anak biasanya diambil 1 atau 3 tahun. Khonghucu mengatakan seorang anak bergantung kepada orang tuanya, setidaknya sampai berusia 3 tahun, maka ketika orang tuanya meninggal, ia harus melakukan masa perkabungan selama 3 tahun. Untuk cucu dan buyut, masa berkabungnya bisa diambil waktu yang lebih pendek, misalnya 1 tahun atau 100 atau 49 atau 7 hari.
           Kuburan Tionghoa terdiri dari dua bagian utama.  Yang pertama adalah "mu qiu" atau tempat dimana peti jenazah dikuburkan. Mu gui ( bukit kuburan). Saya sebut bagian pertama untuk tidak membingungkan. Bagian ke dua itu terdiri dari beberapa bagian. Ada tembok yang mengelilingi mu gui, bagian depan disekeliling dibelakang batu nisan disebut mu an qian kao (  tembok yang mengelilingi peti jenazah dikuburkan ) dan dibagian belakang disebut mu an hou kao.
Tepat dibelakang batu nisan, disebut mu jian atau bahu. Didepan batu nisan ada meja. Jika kita ke kuburan orang Tionghoa, kita bisa lihat di sisi kiri dan kanan depan batu nisan ada bangunan atau tembok yang mengelilingi ruang di depan batu nisan. Bangunan itu disebut qu shou ( lekukan tangan ) dan kadang disebut mu shou atau tangan kuburan. Kemudian ada altar untuk Hou Tu ( ratu bumi atau bunda bumi ). Jika tidak ada altar Ratu Bumi biasanya digantikan dengan altar Tudi gong (kakek bumi ) atau Fushen ( dewa rejeki ). Paling depan dibagian ke dua adalah mucheng atau tembok yang membatasi kuburan (  wilayah yin ) dengan tempat diluar. Kuburan yang tidak ada mu an, tetap memiliki mu shou. Ini melambangkan yang meninggal itu tetap menjadi satu bagian dari keluarga yang ditinggalkan. Mucheng dibuat karena berdasarkan keyakinan bahwa diantara dua dunia itu memiliki pembatas. Fungsi mu an semacam benteng dari erosi tanah yang disebabkan oleh hujan dan bentuk kuburan yang bulat sebenarnya memiliki fungsi sebagai pembuangan air.
Untuk ukuran kuburan, biasanya menggunakan meteran fengshui. Meteran fengshui ini sebenarnya terbagi dua bagian yaitu meteran Wengong dan meteran Dinglan. Meteran yang digunakan untuk kuburan adalah meteran Dinglan. Menurut kepercayaan Tiongkok purba, manusia yang meninggal adalah Yin dan kembali ke Yin atau bumi. Dan bumi direpresentasikan sebagai Ratu atau Bunda.[13]
-          Konfusius dipercaya ada di Surga ( Kaprahisme )
Konfusius melakukan perjalanan ke banyak kerajaan untuk menyebarkan pandangannya. Suatu kali ia meninggalkan Kerajaan Wei untuk Kerajaan Chen melalui kota Kuang. Orang-orang di Kota Kuang mengira Konfusius sebagai Yang Hu pemberontak dari Lu. Memang, Penampilan Konfusius sekilas tampak seperti Yang Hu. Sebelumnya Yang Hu pernah menyerang Kuang , dan orang-orang di Kota Kuang yang membenci Yang Hu sangat banyak, sehingga mereka mengepung Konfusius dan para pengikutnya. Situasi menjadi sangat tegang, dan para muridnya menjadi khawatir.
Untuk menenangkan para muridnya, Konfusius berkata, "Sepeninggal Raja Wen dari Zhou maka sistem budaya Zhou telah diwariskan kepadaku jika surga/langit ingin sistem itu punah, maka tidak akan ada mengizinkan saya untuk melestarikannya. Jika surga tidak ingin sistem untuk untuk punah, maka apa yang dapat yang dapat dilakukan masyarakat Kota Kuang kepada saya? " Setelah Konfusius dan para pengikutnya dikepung selama lima hari penuh, mereka akhirnya keluar dari bahaya.( karena orang Kuang sadar bahwa mereka salah duga ).
Selama masa hidupnya Konfusius pergi ke berbagai kerajaan, ia sering kali menemukan situasi yang sama .. Konfusius sekali menemukan orang yang ingin menyakitinya. " Konfusius berkata, "Surga menganuugerahkan kebajikan kepada saya,maka Apa yang bisa dia lakukan untuk saya?." ( Huan Tui ) Layaknya seorang nelayan yang mau menebar jala, pastilah ia melakukan pada kolam yang ada ikannya, Konfusius bersusah payah menebarkan ajarannya sebab Konfusius yakin bahwa ada "surga" jika mau menjalankan dan mengikuti ajarannya.
Adalah orang dungu yang mengatakan bahwa Konfusius tidak mengajarkan "afterlife", bedanya Konfusius adalah seorang yang sangat jujur dan ilmiah, dalam logika Konfusius bagaimana bicara "after" sementara "before" aja belum dijalankan dengan baik Jikalau ada yang terlalu sibuk bicara "after" dan mekesampingkan "before" pastilah orang itu penganut "kaprahisme.[14]

















DAFTAR PUSTAKA
Nurhikmah, SKRIPSI : UPACARA KEMATIAN DALAM AGAMA KONGHUCU, BOGOR 2006
M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat  Agama Konghucu di Indonesia. Jakarta
Samsudin Nur, SKRIPSI : Upacara Perkawinan dalam Agama Konghucu. Jakarta 2006.
http://www.confucian.me/forum/topics/konfusius-dipercaya-ada-di, Pukul : 19.23, 20-march-2012
http://www.meandconfucius.com/2011/03/upacara-pernikahan-chio-thau.html 20.20







[1] Samsudin Nur, SKRIPSI : Upacara Perkawinan dalam Agama Konghucu. Jakarta 2006. Hal. 10

[2] Ibid hal. 11-12

[3] Ibid 12-15

[4] Ibid hal.26

[5] M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat  Agama Konghucu di Indonesia, h.121

[6] M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat  Agama Konghucu di Indonesia, h. 122

[7] Ibid hal. 123

[8] Samsudin Nur, SKRIPSI : Upacara Perkawinan dalam Agama Konghucu. Jakarta 2006. Hal. 29-30

[9] M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat  Agama Konghucu di Indonesia, h. 132

[10] http://www.meandconfucius.com/2011/03/upacara-pernikahan-chio-thau.html 20.20

[11] Nurhikmah, SKRIPSI : UPACARA KEMATIAN DALAM AGAMA KONGHUCU, BOGOR 2006, hal 8-13

[12] Ibid 44-48

[13] http://www.confucian.me/group/allabouttionghoa/forum/topics/berbagai-tata-cara-upacara, pukul 20.00 , 20-1-03-2012

[14] http://www.confucian.me/forum/topics/konfusius-dipercaya-ada-di?, Pukul : 19.23 , 20-march-2012